Bangsa Indonesia telah membulatkan tekad untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara.
Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
merupakan hasil kerja keras yang melibatkan banyak tokoh. Tokoh-tokoh
tersebut telah berjuang dengan tulus dan ikhlas untuk merumuskan dasar
negara, antara lain: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Supomo, K.H.
Agus Salim, K.H Abdul Wahid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin. Berikut
dijelaskan riwayat para tokoh tersebut.
Ir. Soekarno
Presiden pertama Republik
Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Surabaya, Jawa
Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya,
beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati
mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri
Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita
turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar.
Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar
Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian
melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu,
Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920,
pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah
Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar
"Ir" pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai
Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka.
Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29
Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya
berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa
yang mengaku lebih maju itu. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun
dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo
dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan
dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke
Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang
cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus
1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan
tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir
Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai
Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi
dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya
mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada
1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan
penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto
sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu,
21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso,
Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu
Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan
Proklamasi".
Detik Detik Kematian Sang Presiden
Jakarta, Selasa,
16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara
sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di
beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga
pelataran parkir.
-
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan,
mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya
di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
-
Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat
sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno
|
tergolek lemah di
pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang
hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu
tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya
kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
-
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai
perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada
lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah
membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak,
tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu
menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya
terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini
tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
-
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu
-
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara
untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara
perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
-
“Pak, Pak, ini Ega…”
-
Senyap.
-
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir
Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin
mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui
kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya
bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya
terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno
terdiam lagi.
-
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari
tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi
hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan
limbung. Mega segera dipapah keluar.
-
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga
lengkap dengan senjata.
-
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup
dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
-
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi
kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan
Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil
dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak
terperi, Soekarno berkata lemah.
-
“Hatta.., kau di sini..?”
-
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau
kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam
kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar.
Sedikit tersenyum menghibur.
-
“Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”
-
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya
memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin
memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
-
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya
dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka
masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
-
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
-
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di
depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak
lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga
tumpah. Hatta ikut menangis.
-
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah
takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat
dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya
siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa
dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
-
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan
lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya
terguncang-guncang.
-
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati
menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno
tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus.
-
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan
matanya.
-
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
-
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus
merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu
badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan
piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun,
Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
-
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter
kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang
paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai
seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama
lagi.
-
Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno.
Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya,
memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari
tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu
juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu
lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
-
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir.
Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik
yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
-
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak
orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat,
Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan
kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
-
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter
kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno
telah meninggal.
Sumber :
Dr. Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir pada tanggal
12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota
kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya.
Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal
ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota
Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul
perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong
Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan
bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota
maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai
rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya
menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge
School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun
1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging.
Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama
lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara
teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir
tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu
dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun
memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI
pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato
inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur
Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur
ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan
non-kooperatif.
Sejak tahun 1926 sampai 1930,
berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI
berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang
mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui
oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos
depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres
intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu,
hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta
memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di
Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi
diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah
Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan
organisasi-organisasi internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga
Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional
yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta
berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan
Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia
dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan
Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak
saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah
bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di
Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I'
Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid
Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22
Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala
tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan
yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama
"Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan
karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia
merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda
dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933,
kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk
Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan
kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip
non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya
oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke
Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul
"Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno"
(30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah
Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya
kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan
Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya
berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan
Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin,
Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun
di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku
berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven
Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua
pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan
harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan
menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke
daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial
waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar
pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40
sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat
kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia
dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh
buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian,
Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada
kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.
Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan
judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan"
dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan
bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari
1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo
dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul
bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat
dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada
tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan
pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai
penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka,
dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan
harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan
menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman
Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh
Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang
fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena
itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang
baru diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang
diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember
1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia
terlepas dari
penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi
jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda
Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada
mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan
Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya
terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa
dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol,
sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil
yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan
Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi
kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas.
Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya.
Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para
anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua
orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut
dengan bertepuk tangan riuh.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia,
tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat
menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus
merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia
harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin
menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia
pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan
Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan
pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India
menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot
bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi
Menteri Baja India
di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia
dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI
melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi
kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan
Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana.
Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27
Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam
Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu
Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat
berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan
ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis
berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga
aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi
ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk
menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam
gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak
Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran
Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante
pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk
surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada
Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden,
Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l
Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden
Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu
Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta.
Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul
“Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa
gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas
Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu
politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar
Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan
gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta
berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah
Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan
dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh
bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia
Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah
menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs.
Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya,
yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15
Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara
berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas
I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik
Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto
Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir
pada tanggal 15 Maret 1980.
Berikut Biodata dari Mohammad Hatta
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Anak :
* Meutia Farida
* Gemala
* Halida Nuriah
Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Pendidikan :
* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan
Penjajahan, Berlin (1927-1931)
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948
- Desember 1949)
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima
penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet
Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai
Pancasila (1975)
Referensi :
- http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22
- http://www.ghabo.com/gpedia/index.php/Mohammad_Hatta
Mr. Soepomo
Prof.
Mr. Dr Soepomo (EYD: Supomo; Sukoharjo, 22 Januari 1903�Jakarta, 12 September 1958)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.Soepomo dikenal sebagai arsitek
Undang-undang Dasar 1945, bersama denganMuhammad Yamin dan Sukarno (lihat
Marsillam Simanjuntak).
"Pandangan
negaraintegralistik : sumber, unsur, dan riwayatnya dalam persiapan UUD
1945" sebagaiacuan tambahan tentang peran Soepomo dalam penyusunan UUD
1945). Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, kakek Soepomo dari pihak ayah
adalah
Raden Tumenggung
Reksowardono -ketika itu menjabat sebagai Bupati Anom Sukoharjo-dan kakek dari
pihak ibu adalah Raden Tumenggung Wirjodiprodjo, Bupati NayakaSragen. Sebagai
putra keluarga priyayi, Soepomo berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS
(Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (MeerUitgebreid Lagere
Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan tingginya di
Bataviasche Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1923. Iakemudian ditunjuk
sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial yang diperbantukan pada Ketua
Pengadilan Negeri Sragen (Soegito 1977).
Antara
tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya ke
Rijskuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelisvan Vollenhoven,
profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum
adatIndonesia.
Thesis
doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelselin het Gewest
Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja
mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis
hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta (Pompe
1993). Ditulis dalam bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial
tentang proses transisi agraria ini dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak
langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca
ketika kita menyadari bahwa subyektifitas Soepomo sangat kental diwarnai etika
Jawa (lihat buku Frans Magnis-Suseno "Etika Jawa" dan tulisan-tulisan
Ben Anderson dalam "Language and Power" sebagai tambahan acuan tentang
etika Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency (Soepomo).
Hampir
tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan berdasarkan
proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 (Soegito 1977).
Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber darimunculnya fasisme di
Indonesia. Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Negara
"Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling
dekat dengan ideal Soepomo. Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan
jantung di Jakarta padatahun 1958. Beliau dimakamkan di Solo.
K.H. Agus Salim
Lahir di
Bukittinggi, 8 Oktober 1884. Pendidikan ELS dan HBS. Setelah mendalami Islam di
Jeddah, tahun 1911 ia kembali ke tanah air. Setahun kemudian di kota Gadang ia
mendirikan HIS (Holland Islandse School), yang diasuhnya sampai tahun 1915. Di
Jakarta ia bekerja terakhir di Bataviasche Neewsblad dan sejak itu rajin
menulis artikel.
Karier politiknya dimulai dalam Serikat Islam. Ketika masuk, ia langsung duduk
sebagai anggauta pengurus. Namanya cepat terkenal karena pemikiran-pemikirann
yang didukung oleh pengetahuan yang luas mengenai berbagai hal.
Tahun 1919 mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh bersama Semaun.
Organisasi ini menuntut kepada Pemerintah Belanda supaya Indonesia segera
didirikan DPR yang sesungguhnya. Ia juga mengorganiser pemogokan buruh di
berbagai tempat seperti Semarang, Surabaya dan Cirebon.
Dalam konggres Islam di Garut tahun 1924 (diadakan berkat kerjasama antara
Sarekat Islam dan Muhammadiyah) ia menguraikan fungsi agama dan ilmu
pengetahuan serta hubungan antara Islam dan Sosialisme. Ia melontarkan gagasan
dibentuknya Pan Islamisme.
Tahun 1912-1924, Agus Salim duduk dalam Volksraad. Ia banyak mengecam
tindakan-tindakan pemerintah yang banyak menyengsarakan rakyat. Ia juga
menuntut agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi dalam Volksraad.
Pemandangannya mengenai nasionalisme dibentangkannya dalam konggres luar biasa
Al Islam di Surabaya. Tahun 1925 ia menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta
dan memimpin harian Hindia Baru yang terbit di Jakarta. Dalam konggres ia
berpidato dalam bahasa Perancis sehingga membuat orang kagum atas kemahirannya
menggunakan bahasa tersebut, sekaligus menaikkan nama Indonesia di luar negeri.
Kedudukan wanita dalam masyarakat menjadi perhatiannya. Ia menyerukan agar
dalam lingkungan umat Islam dilakukan emansipasi. Dianjurkan dalam rapat-rapat
yang dihadiri laki-laki dan perempuan tidak perlu diadakan tabir yang
memisahkan keduanya.
Tahun 1930 an, pergerakan nasional mengalami masa suram. Pemerintah Belanda
menjalankan politik tangan besi. Dalam situasi demikian beberapa partai
menempuhh taktik kooperasi agar masih bisa bergerak. Agus Salim memilih taktik
ini.
Menjelang masa zaman Jepang ia diangkat menjadi anggauta BPUPKI, kemudian
berganti nama menjadi PPKI. Ia duduk dalam Panitia Sembilan dan menghasilkan
Piagam Jakarta. Ia juga duduk dalam Panitia Perancang UUD dan sekaligus anggauta
penghalus bahasa bersama Prof.Supomo dan Prof.Hussein Djayadinigrat.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, K.H. Agus Salim aktif mengambil
bagian dalam bidang diplomasi. Ia duduk dalam kabinet sebagai Wakil Mentri Luar
Negri, kemudian Mentri Luar Negri hingga Agresi Meliter II.
Maret 1947 ia diutus ke New Delhi Conference kemudian mengunjungi negara-negara
Arab dengan tugas mengusahakan pengertian sedalam-dalamnya dari negara-negara
Arab tentang Kemerdekaan Indonesia. Misi itu berhasil hingga negara-negara Arab
menyokong RI di dalam persidangan PBB.
Waktu Belanda menduduki Yogyakarta, ia bersama-sama Presiden dan Wapres serta
mentri-mentri ditangkap dan diasingkan ke Sumatra. Bersama Sutan Sjahrir,
awalnya diasingkan di Brastagi kemudian dipindah ke Prapat dan akhirnya ke
Bangka. Setelah pengakuan kedaulatan RI ia tidak aktif lagi dalam pemerintahan.
Tahun 1953, ia memberi kuliah agama Islam di Cornell dan Princeton
University di AS.
K.H. Agus Salim lebih meletakkan arti Islam sebagai pandangan hidup setiap
muslim yang sadar akan tugas dan kewajibannya di tengah-tengah masyarakat
bangsanya. Sebagai hasil penyelidikannya atau ijtihad yang dipeloporinya,
pandangannya terhadap berbagai masalah agama bercorak tersendiri. Ia selalu berfikir tentang apa yang
dilihatnya serta apa yang dialaminya.
Ia diangkat menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam Negeri di
Yogyakarta. Tugas itu belum sempat dijalankannya, tanggal 4 Nopember 1954 K.H.
Agus Salim meninggal dunia. Berkat jasa-jasanya ia dianugerahi Gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.
Meski tidak sempat menjalankan tugas sebagai Guru Besar di PTIN, namun
pengabdian K.H.Agus Salim sungguh lengkap untuk negri ini. Bagaimana tidak? Ia
berjuang di Serikat Islam, Jepang, RI didirikan, Agresi Militer Belanda,
emansipasi wanita hingga memberi kuliah saat Indonesia sudah merdeka. Tidak
aneh lagi kalau namanya kini menjadi banyak dijadikan nama jalan besar di
kota-kota besar di tanah air !!
K.H. Abdul Wachid Hasyim
Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota
BPUPKI dan perumus Pancasila. Putera KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, ini
lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 dan wafat di Cimahi, Jawa Barat, 19
April 1953 pada usia 38 tahun.
Ayahanda
Abdurrahman Wahid ini menjabat Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta,
Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman).
Mantan Ketua Tanfidiyyah PBNU
(1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng (1947 – 1950) ini,
merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan Islam Indonesia.
Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).
Pada tahun 1939, ia ikut berperan
pada saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan
federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Pada 24 Oktober
1943 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
sebuah organisasi menggantikan MIAI.
Saat pemimpin Masyumi ia merintis
pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif membantu perjuangan umat Islam
mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam
(UIN) di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Tahun
1945 ia pun menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Wahid Hasjim meninggal dunia
dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953.
Menimba Ilmu
Wahid Hasjim lahir dari
buah kasih KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) pada
pagi Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula
memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya
kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak
kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
Masa kecilnya diisi dengan
pengasuhan di Madrasah Tebuireng hingga usi 12 tahun. Sejak kecil sudah hobi
membaca dan giat memelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara
outodidak. Dia hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah
buku.
Pada usia 13 tahun, ia sempat
mondok dan belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama 25 hari, mulai
awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan. Kemudian pindah ke Pesantren Lirboyo,
Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan
sekaligus murid ayahnya.
Kemudian, pada usia 15 tahun, ia
kembali ke Tebuireng dan baru mengenal huruf latin. Setelah mengenal huruf
latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa
asing, matematika, dll. JUga rajin membaca koran dan majalah, baik yang
berbahasa Indonesia maupun Arab.
Ia pun mulai belajar Bahasa Arab dan Belanda ketika berlangganan majalah tiga
bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Setelah itu belajar Bahasa Inggris.
Ketika umurnya baru 18 tahun,
pada tahun 1932, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya,
Muhammad Ilyas. Mereka berdua, selain menjalankan ibadah haji, juga memperdalam
ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Ia menetap di
tanah suci selama 2 tahun.
Terobosan Kurikulum
Pesantren
Sepulang dari tanah suci,
ia membantu ayahnya mengajar di pesantren. Juga giat terjun ke tengah-tengah
masyarakat. Pada usianya baru menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid sudah membantu
ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama
atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai
pertemuan dengan para tokoh.
Beliau sudah menggantikan membaca
kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari
berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dia pun melakukan
terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Dia mengusulkan untuk merubah sistem
klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke
pesantren. Namun, usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan
menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Tetapi kemudian pada tahun
1935, usulannya tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70 persen
kurikulum berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Pada tahun 1936, Kiai Wahid
mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman bacaan (Perpustakaan
Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan ini juga
berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama,
Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain
sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang dilakukan pesantren manapun di
Indonesia.
Lalu, ia menikah dengan Munawaroh
(lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar
Jombang) pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M. Pada prosesi pernikahan
ini, ia hanya berangkat seorang diri ke Denanyar dengan hanya memakai baju
lengan pendek dan bersarung. Bukan lantaran tidak ada yang mau mengantar, akan
tetapi ia sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang.
Pernikahan Wahid-Sholichah dikaruniai
enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily
Khodijah, dan Muhammad Hasyim.
Sembilan tahun kemudian, 1947,
ayahnya KH. M. Hasyim Asy’ari meningal dunia. Kiai Wahid pun terpilih secara
aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng menggantikan ayahandanya. Pilihan ini
berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten
Jombang.
Masuk NU dan Mendirikan
Masyumi
Di tengah kesibukannya mengelola
Tebuireng, Kiai Wahid aktif menjadi pengurus NU. Dimulai jadi Sekertaris NU
Ranting Cukir, kemudian terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang,
1938 dan Pengurus PBNU bagian ma’arif (pendidikan), 1940. Ia giat mengembangkan
dan mereorganisasi madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Ia menerbitkan
Majalah Suluh Nahdlatul Ulama dan juga aktif menulis di Suara NU dan Berita NU.
Kemudian tahun 1946, Kiai Wahid
terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang
meninggal dunia.
Pada bulan November 1947, Wahid
Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam
Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan
pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya
partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai
Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid
Hasyim.
Dalam Masyumi tergabung
tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo,
KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr.
Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad
Natsir, dan lain-lain.
Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri.
Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam
Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wahid
tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan
bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh
Masyumi tetap terjalin baik.
Pahlawan Nasional
Pada tahun 1939, NU masuk
menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah federasi partai dan
ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan reorganisasi dan saat
itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam Kongres tanggal 14-15 September
1940 di Surabaya.
Di bawah kepemimpinan Kiai Wahid,
MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut
status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru
agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi
Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai
komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Menjelang pecahnya Perang Dunia
ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta berencana membentuk
milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua
MIAI, Wahid Hasyim menolak keputusan itu.
Ketika pemerintah Jepang
membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Kiai Wahid dipercaya menjadi
anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Ir.
Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara,
Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui jabatan ini, Kiai Wahid
berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna
menghimpun para ulama.
Pada tahun 1942, Pemerintah
Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy’ari dan menahannya di
Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi
politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan.
Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho,
Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena
alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan
kepada Kiai Wahid.
Bersama para pemimpin pergerakan
nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya
untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk
Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta
mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal
terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio
lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 29 April 1945,
pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasyim menjadi salah
satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang
menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan
konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu
nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang
menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi
penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam kabinet pertama yang
dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri
Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk,
Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat
menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.
Setelah terjadi penyerahan
kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat
menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya
selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan
yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
1.
Mengeluarkan
Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan
pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2.
Mendirikan
Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan
Yogyakarta.
3.
Mendirikan
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang,
Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah pendirian
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh
KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah
Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden
Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid
diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid
tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada
tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’
Matraman.
Musibah di Cimindi
Hari itu, Sabtu 18 April
1953, Kiai Wahid bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Kiai
Wahid ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari harian Pemandangan, rekannya
Argo Sutjipto, dan putera sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kiai Wahid
duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu
diguyur hujan lebat sehingga jalan menjadi licin. Lalu lintas cukup ramai.
Sekitar pukul 13.00, ketika
memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, mobil yang ditumpangi
Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakangnya
banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan, sebuah truk yang
melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag. Karena mobil
Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk
dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, Kiai Wahid dan Argo Sutjipto
terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Kiai
Wahid terluka bagian kening, mata, pipi, dan bagian lehernya. Sedangkan sang
sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian
belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.
Kiai Hasyim dan Argo Sutjipto
kemudian dibawa ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Sejak mengalami kecelakaan,
keduanya tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul
10.30, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt. dalam usia 39
tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul
menghadap Sang Khalik. Inna liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.
Jenazah Kiai Wahid kemudian
dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke
Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Atas
jasa-jasanya beliau juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Kiai Wahid Hasyim adalah putra
dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU) dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wahid Hasyim adalah
salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH Hasyim Asy’ari. Silsilahnya
dari jalur ayah bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang dikenal dengan
Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Islam Demak. Sedangkan dari jalur
ibunya, bersambung hingga Ki Ageng Tarub. Dan bila dirunut lebih jauh, kedua
silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah
satu raja kerajaan Mataram. Maka tidak heran jika pada akhirnya Wahid Hasyim
menjadi seorang figur, panutan masyarakat, bahkan gelar pahlawan nasionalpun ia
raih. Karena Wahid Hasyim dikenal sebagai sosok yang mempunyai banyak
sumbangsih terhadap negara Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan
kemerdekaan.
Selain dikenal sebagai pejuang
kemerdekaan, Wahid Hasyim aktif dibeberapa organisasi kemasyarakatan seperti
MIAI, Masyumi, Liga Muslimin Indonesia, hingga di organisasi terbesar di
Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Di beberapa organisasi tersebut ia selalu
dipercaya untuk menjadi Rais Akbarnya. Namun yang paling banyak memberikan
sumbangsih dan mengabdi terhadap organisasi yaitu di jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU), salah satu organisasi yang didirikan oleh ayahnya, Hadratus Syekh KH
Hasyim Asy’ari.
Karirnya di NU dimulai dari
pengurus ranting NU Cukir Jombang, ketua NU Cabang Jombang, hingga kemudian
pada tahun 1940 dipilih menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan). Dari
sinilah, perjuangan di NU mulai banyak peningkatan sampai akhirnya pada tahun
1946 Wahid Hasyim diberikan amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU menggantikan
Kiai Ahmad Shiddiq.
Pada masa kepemimpinannya di NU, Wahid Hasyim tidak hanya berkiprah
memajukan serta meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Beliau
juga mampu berkiprah dalam perjuangan politik. Namun perjuangan politiknya
bukan perjuangan politik pragmatis untuk memperoleh sebuah kekuasan dan
kepentingan pribadi, melainkan ia mampu berkiprah memperjuangkan politik
kebangsaan dan kerakyatan. Kiprah Wahid Hasyim di NU benar-benar mengabdi untuk
NU, sehingga pada tahun 1939 atas nama wakil NU, ia mampu membawa NU masuk
bergabung dalam MIAI sebuah perkumpulan dari berbagai organisasi Islam dalam
satu wadah.
Jadi, pada usia 25-26
tahun Wahid Hasyim sudah menjadi ketua pergerakan dengan skala nasional dalam
dua organisasi.
Selain itu, Wahid Hasyim pernah mendirikan organisasi kepemudaan Islam.
Dengan mengajak M Natsir dan Anwar Cokrominoto, mereka menggerakkan pemuda Islam
yang militan, berani berjihad untuk agama, bangsa, dan tanah airnya.
Gerakan ini ini diberi nama GPPI (Gerakan
Pemuda Islam Indonesia), yang lahir pada tanggal 2 Oktober 1945. GPPP ini
lahir, sebagai organisasi gerakan kepemudaan Islam yang bergerak dalam lapangan
politik dan memiliki kecenderungan radikal
Sejak itulah, kita mengetahuai bahwasanya Wahid Hasyim adalah tokoh
pergerakan yang mampu membangkitkan NU di pentas nasional.
Ia juga mampu meningkatkan bidang pendidikan dan
sosial-politik NU. Dengan semua ini, Wahid Hasyim bisa menunjukkan bahwa NU
mempunyai kualitas dan bisa berkiprah walaupun warganya mayoritas berlatar
belakang kalangan tradisionalis (pesantren).
Meskipun berlatar belakang dari
kalangan tradisionalis, ia tetap konsisten, ikhlas, dan sabar dalam mengabdi
pada NU. Dengan kekonsistenan, keikhlasan, dan kesabaran dalam mengabdi di NU,
akhirnya NU memberikan sebuah “barokah” (nilai tambah), pada tahun 1949-1952
Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama. Dengan bermodal perjuangan dan
mengabdi pada bangsa Indonesia khususnya NU, akhirnya Wahid Hasyim mampu
menjadi seorang yang sukses, diterima oleh banyak kalangan, memimpin organisasi
terbesar di Indonesia seperti, jam’iyah Nadlatul Ulama (NU) dan organisasi
terbesar lainnya yang berskala nasional hingga dipercaya menjadi Menteri Agama.
Buku “Biografi Singkat Kiai Wahid
Hasyim” ini, menceritakan sejak ia lahir, pendidikan, kaya-karyanya,
perjuangannya di Pesantren Tebuireng Jombang hingga pada saat aktif diberbagai
organisasi keagamaan kemasyarakatan yang berskala nasional khususnya di
jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Juga beberapa pemikirannya tercantum dalam buku
ini, mulai tentang agama dan negara, politik, pergerakan, perjuangan umat
Islam, pendidikan dan pengajaran, hingga tentang pemikiran Kementerian Agama.
Salah satu pemikiran Wahid Hasyim
yang menarik dalam buku ini, adalah tentang pemikiran politiknya. Pemikiran dan
gerakan politik Wahid Hasyim adalah kebangsaan, kerakyatan, membela negara
mengayomi masyarakat. Politik bagi Wahid Hasyim bukanlah sebagai kendaraan
untuk meraih sebuah kekuasaan dan jabatan, melainkan ia untuk mengabdi untuk
negara, mengayomi masyarakat dari semua golongan. Namun kenyataannya sampai
sekarang justru politik dianggap sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan,
jabatan, demi kepentingannya sendiri.
Dari buku ini, setidaknya dapat
menjadi langkah awal sejauh mana kita mengenal sosok dan latar belakang Wahid
Hasyim. Agar supaya muncul penulis dan peneliti yang mampu menulis biografi
para tokoh, Kiai, yang mempunyai banyak sejarah dan sumbangsih terhadap negara.
Dengan harapan bisa diteladani oleh masyarakat khususnya para santri pondok
pesantren. Semoga pejuangan yang dilakukan oleh Wahid Hasyim untuk Negara,
masyarakat, khususnya warga nahdliyin bermamfaat dan barokah. Amin
Mr. Muhammad Yamin
Muhammad Yamin dilahirkan di
Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan
Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu
Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di
zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat
menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat
menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin
sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang
didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan
gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School
(HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan
Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS)
‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan
di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima
tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk
mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani,
bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja
ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang
jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin
banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam
bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum
sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya
meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa
sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana.
Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati
masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan
berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun
1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam
perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai
Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong
Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda
II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia.
Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).
Pada tahun 1938—1942 Yamin
tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan
Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan
yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri
Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955),
Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara
(1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik
maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang
berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah
menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi
kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air
dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan
keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau.
Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama
hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak
terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa
karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan
Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981)
menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa
sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan
syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu
dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar
Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu
pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin
seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca
kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair
baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya,
Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan
ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi
modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin
dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari
tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun
dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata
hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus
menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik,
yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang
melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda
jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut
terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai
untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru
saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan
estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Keith Robert Foulcher (1974) dalam
disertasinya
mengemukakan bahwa konsepsi Yamin tentang soneta dipengaruhi sastra Belanda dan
tradisi kesusastraan Melayu. Karena itu, soneta Yamin bukanlah suatu adopsi
bentuk eropa dalam keseluruhan kompleksitas strukturalnya, tetapi lebih
merupakan suatu pengungkapan yang visual, sesuatu yang bersifat permukaan saja
dari soneta Belanda, yang masih memiliki ekspresi puitis yang khas Melayu.
Berikut ini ditampilkan sebuah soneta Yamin yang masih dilekati tradisi sastra
Melayu dan yang menggambarkan kerinduan dan kecitaan penyair pada tanah
kelahiran.
Di Lautan Hindia
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah Timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di papsir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi barissan sebuah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur
Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia,
Tumpah Darahku. Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan
Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi
menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan telah menyanyikan
kebesaran dan keagungan Nusantara. Kebesaran sejarah berbagai kerajaan dan suku
bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai terlukis
dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu sajaknya, ia mengatakan demikian: ‘…..
kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia’.
Keagungan dan keluhuran masa silam bangsanya menimbulkan pula kesadaran pada
diri Yamin bahwa:
Buat kami anak sekarang
Sejarah demikian tanda nan terang
Kami berpoyong asal nan gadang
Bertenaga tinggi petang dan pagi
Di atas terbaca warna nasionalisme dalam sajak-sajak Muhammad Yamin. Warna
nasionalisme dalam kepenyairan Yamin agaknya tidak dapat dipisahkan dari
peranan Yamin sebagai pejuang dalam masa-masa mencapai kemerdekaank. Di samping
itu, adanya Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda itu juga memegang
peranan yang amat penting. Dengan adanya sumpah pemuda itu kesadaran nasional
semakin meningkat dan organisasi-organisasi pemuda yang semula bersifat
kedaerahan mulai mengubah dirinya ke arah nasionalistis. Hal ini dapat
dikatakan berpengaruh pada pandangan Yamin sebagai penyair dan peranannya yang
ingin disumbangkannya untuk kejayaan bangsa dan negaranya. Sebagai pemuda yang
mencita-citakan kejayaan masa depan bangsanya, ia tetap mengenang kegemilangan
masa silam bangsanya:
Tiap gelombang di lautan berdesir
Sampai ke pantai tanah pesisir
Setiap butir berbisik di pasir
Semua itu terdengar bagiku
Menceriterakan hikayat zaman yang lalu
Peninggalan bangsaku segenap waktu
Berkat cahaya pelita poyangku
Penggalan sajak berikut ini juga memperlihatkan adanya kesadaran untuk
memelihara hasi-hasil yang pernah dicapai oleh para pendahulu bangsa dan
menjadikannya sebagai modal untuk meraih kegemilangan masa depan:
Adapun kami anak sekarang
Mari berjejrih berbanting tulang
Menjaga kemegahan jangalah hilang,
Supaya lepas ke padang yang bebas
Sebagai poyangku masa dahulu,
Karena bangsaku dalam hatiku
Turunan Indonesia darah Melayu
Patriotisme Yamin yang juga mengilhami untuk menumbuhkan kecintaan pada bangsa
dan sastra. Yamin melihat adanya hubungan langsung antara patriotisme yang
diwujudkan lewat kecintaan pada bahasa dan pengembangan sastra Indonesia.
Sebagai penyair yang kecintaannya pada bahasa nasionalnya berkobar-kobar, ia
cenderung mengekspresikan rasa estetisnya dalam bahasa nasionalnya dengan
harapan kesusastraan baru akan tumbuh lebih pesat. Hal ini tampak dalam baik
berikut ini:
Apabila perasaan baru sudah mendirikan pustaka
baru dalam bahasa tumpah daerah kita, maka
lahirlah zaman yang mulia, sebagai pertandaan
peradaban baru, yaitu peradaban Indonesia-Raya
Di Jakarta, dalam usia 59 tahun—yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962 – Muhammad
Yamin tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan
sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia
telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra
Indonesia. Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat pada
sejarah, terutama sejarah nasional. Baginyta sejarah adalah salah satu cara
dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang
pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946)
dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra asing
ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William
Shakespeare (1564–1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India
Rabindranath Tagore (1861–1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di
Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga
Karya Muhammad Yamin
a. Puisi
(1) Indonesia, Tumpah Darahku, Jakarta: Balai Pustaka, 1928. (kumpulan)
b. Drama
(1) Ken Arok dan Ken Dedes, Jakarta: Balai Pustaka, 1934
(2) Kalau Dewa Tara Sudah Berkata. Jakarta: Balai Pustaka, 1932
c. Terjemahan
(1) Julius Caesar karya Shakspeare, 1952
(2) Menantikan Surat dari Raja karya R. Tangore, 1928
(3) Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya R. Tigore, t.th
(4) Tan Malaka. Jakarta: Balai Pustaka,1945
d. Sejarah
(1) Gadjah Mada, Jakarta: 1945
(2) Sejarah Pangerah Dipenogoro, Jakarta: 1945
Referensi :
- http://tunas63.wordpress.com/2009/01/20/biografi-muhammad-yamin/