Gubernur Jakarta Joko widodo dikenal gubernur
paling hobi blusukan, dikenal terjun langsung keliling Jakarta, melihat
kehidupan warganya. Pagi, siang, dan malam, Pimpinan tertinggi Ibu kota
Indonesia ini tak henti menyambangi berbagai tempat. Mulai dari sungai, rumah
susun, taman, hingga pintu air. Ini dilakukannya tanpa protokoler, tanpa
rencana, tidak ada sekat antara dirinya dan warga. Dia bebas bergerak untuk
bertatapan langsung dengan penduduk.
Bagi Jokowi, blusukan itu penting untuk
mengetahui masalah tengah dihadapi warga, mengontrol apakah instruksi dia
berikan untuk perbaikan sarana dan prasarana bagi penduduk sudah dikerjakan
aparat pemerintahannya, sekaligus memikirkan solusi persoalan Jakarta, terutama
macet dan banjir.
Jauh sebelum Jokowi melakukan hal ini, sudah ada
Khalifah Umar bin Khattab memberi contoh bagi para pemimpin untuk terjun
langsung melihat rakyatnya. Umar seolah tak punya rasa lelah utuk mengetahui
persoalan warga, dan setelahnya, dia sendiri yang turun tangan untuk mengatasi
masalah itu, seperti dilansir islamicmovement.org.
Khalifah
yang agung itu hidup dengan cara yang sangat sederhana. Tingkat kehidupannya
tidak lebih tinggi dari kehidupan orang biasa. Suatu ketika Gubernur Kufah
mengunjunginya sewaktu ia sedang makan. Sang gubernur menyaksikan makanannya
terdiri dari roti gersh dan minyak zaitun, dan berkata, “Amirul mukminin,
terdapat cukup di kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?”
Dengan agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, “Apakah Anda pikir
setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan gandum?” “Tidak,”
Jawab gubernur. “Lalu, bagaimana aku dapat makan roti dari gandum? Kecuali bila
itu bisa dengan mudah didapat oleh seluruh rakyatku.” Tambah Umar.
Dalam
kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan. Katanya,
“Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan kalian lakukan?”
Seorang laki-laki bangkit dan berkata, “Anda akan kami pancung.” Umar berkata
lagi untuk mengujinya, “Beranikah anda mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan
seperti itu kepadaku?” “Ya, berani!” jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira
dengan keberanian orang itu dan berkata, “Alhamdulillah, masih ada orang yang
seberani itu di negeri kita ini, sehingga bila aku menyeleweng mereka akan
memperbaikiku.”
Hubungan dengan para penguasa
Suatu ketika khalifah Umar bin
Khatab berjalan, semua orang pada minggir, tapi ada pemuda yang bersikap biasa
saja. Dia hormat, tapi tidak pakai merunduk-runduk, minggir - minggir. Lalu
pemuda tadi dimarahi sama yang tua-tua. Khalifah Umar bin Khatab mendengar,
lalu beliau berkata; ” Justru pemuda seperti inilah yang diperlukan Islam,
bukan seperti kamu - kamu ini”. Kalau pemuda-pemuda itu sikapnya begitu, tambah
matang, maka dia tak mau diperalat orang lain kecuali untuk Agamanya. Kalau
tunduk saja ya tidak ada manfaatnya. Sekarang harus saling memberi dan
menerima.
Menjalankan Pemerintahan
Pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a
naik mimbar dan berkhutbah, “Wahai, kaum muslimin! Apakah tindakanmu apabila aku memiringkan kepalaku
ke arah dunia seperti ini?” (lalu beliau memiringkan kepalanya). Seorang
sahabat menghunus pedangnya. lalu, sambil mengisyaratkan gerakan memotong
leher, ia berkata, “Kami akan melakukan ini.” Umar bertanya, “maksudmu, kau
akan melakukannya terhadapku?” Orang itu menjawab, “Ya!” lalu Amirul Mukminin
berkata, “Semoga Allah memberimu rahmat! Alhamdulillah, yang telah menjadikan
di antara rakyatku orang apabila aku menyimpang dia meluruskan aku.”
Menentang
Pemborosan
Umar bin
Khattab r.a mendengar bahwa salah seorang anaknya membeli cincin bermata
seharga seribu dirham. ia segera menulis surat teguran kepadanya dengan
kata-kata sebagai berikut: “Aku mendengar bahwa engkau membeli cincin permata
seharga seribu dirham. Kalau hal itu benar, maka segera juallah cincin itu dan
gunakan uangnya untuk mengenyangkan seribu orang yang lapar, lalu buatlah
cincin dari besi dan ukirlah dengan kata-kata, “Semoga Allah merahmati orang
yang mengenali jati dirinya.”
Khalifah
Umar Meminjam Uang
Pada suatu
hari, Khalifah Umar bin Khattab r.a membutuhkan uang untuk keperluan pribadi.
ia menghubungi Abdurrahman bin ‘Auf, sahabat yang tergolong kaya, untuk
meminjam uang 400 dirham. Abdurrahman bertanya, “mengapa engkau meminjam dari
saya? Bukankah kunci baitul maal (kas negara) ada di tanganmu? mengapa engkau
tidak meminjam dari sana?” Umar r.a menjawab, Aku tidak mau meminjam dari
baitul maal. Aku takut pada saat maut merenggutku, engkau dan segenap kaum
muslimin menuduhku sebagai pemakai uang baitul maal. Dan kalau hal itu terjadi,
di akhirat amal kebajikanku pasti dikurangi. Sedangkan kalau aku meminjam dari
engkau, jika aku meninggal sebelum aku melunasinya, engkau dapat menagih
utangku dari ahli warisku.”
Umar
Mengakui Kesalahan
Saat itu
Umar bin Khattab r.a sedang berkhutbah,” Jangan memberikan emas kawin lebih
dari 40 uqiyah (1240 gram). Barangsiapa melebihkannya maka kelebihannya akan
kuserahkan ke baitul maal.” Dengan berani, seorang wanita menjawab,”Apakah yang
dihalalkan Allah akan diharamkan oleh Umar? Bukankah Allah berfirman,……sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka sejumlah harta, maka
janganlah kamu mengambil dari padanya sedikitpun………(An Nisaa’:20) Umar
berkata,” Benar apa yang dikatakan wanita itu dan Umar salah.”
Khalifah
sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia
turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya.
Pada suatu malam, ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah
rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak
perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu,
ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di
ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu.
Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan
sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke
Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu,
memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang
malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan
sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai
sedekah kepadanya.
Berbanding terbalik, jika pemburu berita kerap mengintili Jokowi saat blusukan,
Khalifah Umar justru enggan aksinya menolong warga diketahui orang lain. Dia
melakukannya sembunyi-sembunyi.
Itu tadi sepenggal kisah
blusukan dilakukan Umar bin Khattab yang sebagian di adopsi oleh Jokowi Gubenur Jakarta. Meski tak banyak petinggi dunia melakukan
hal sama, tapi sang khalifah telah mengajarkan terjun langsung melihat, dan
mendekat dengan warga membawa hikmah luar biasa dan mendekatkan jiwa pemimpin
dengan orang yang dipimpin. Sebaliknya, penguasa tidak tahu keadaan sekitar
hanya tinggal menunggu kedigdayaannya selesai dengan tragis sebab dibenci
rakyat.
Sumber : Brudoonews.com, kompasiana.com.
0 komentar:
Posting Komentar