Timnas Tahun 1938, 1956, 1987, 2010
Sepuluh Hasil Buruk Indonesia Sepanjang Sejarah
Sepuluh. Angka ini
mendadak tidak lepas dari benak pikiran serta ramai menjadi pembahasan
penggemar sepakbola tanah air, Rabu (29/2) malam lalu. Pasalnya, telah tercipta
sejarah yang sayangnya merupakan peristiwa memalukan bagi timnas Indonesia. Pada
laga terakhir kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia, Indonesia ditelan tuan rumah Bahrain, 10-0.
Sepuluh gol tercipta ke dalam gawang Andi Muhammad Guntur. Seakan kian
melengkapi penderitaan, Samsidar menerima kartu merah pada menit ketiga
pertandingan, menyusul kartu merah kepada pelatih Aji Santoso, dan empat kali
hukuman penalti yang dijatuhkan wasit Andre El Haddad asal Libanon. Sejarah juga
mencatat, tidak ada tim lain setelah Brighton & Hove Albion pada Maret 1989
yang menerima empat hukuman penalti sekaligus pada satu pertandingan.
GOAL.com mencoba merangkum sepuluh hasil
pertandingan terburuk yang pernah dialami Indonesia sepanjang sejarah.
Definisi "terburuk" tidak mesti berarti kekalahan dengan skor besar,
tetapi juga hasil-hasil mengejutkan dan di luar dugaan yang mencegah
terwujudnya mimpi Indonesia
untuk berprestasi. Sepuluh pertandingan ini juga dipilih berdasarkan dampaknya
terhadap perkembangan sepakbola tanah air secara keseluruhan. Dengan demikian,
kekalahan 7-1 dari Uruguay,
misalnya, pada laga ujicoba tidak masuk dalam catatan.
Catatan hasil-hasil ini juga tidak dimaksudkan untuk menghujat, melainkan
dilakukan dengan semangat pembelajaran dari pengalaman yang sudah dialami Indonesia.
Sepakbola tidak melulu soal kemenangan, tetapi juga bagaimana caranya bangkit
dari keterpurukan.
1. Mogok di debut regional, vs
Thailand 1-1, SEA Games 1977 Untuk kali pertama Indonesia berpartisipasi di pesta
olahraga negara Asia Tenggara, SEA Games. Di cabang sepakbola, Indonesia disematkan status favorit karena sudah
langganan tampil di turnamen antarnegara seperti Merdeka Games, Piala Raja Thailand, atau
Piala Presiden Korea Selatan. Status favorit kian lantang ketika Indonesia mampu mengalahkan tuan rumah Malaysia 2-1
pada laga debut SEA Games. Setelah laga itu, skuad Indonesia menuding kubu tuan rumah
menerapkan strategi tidak sportif dengan jadwal ketat. Puncaknya terjadi ketika
di laga semi-final Indonesia
memprotes kepemimpinan wasit Othman Omar, asal Malaysia, yang dianggap berat
sebelah. Pemain Indonesia
berkelahi dengan Thailand
dan wasit menghentikan pertandingan pada menit ke-60 pada kedudukan 1-1. Indonesia menolak melanjutkan laga sehingga
panitia memberikan kemenangan kepada Thailand. Indonesia pun melanjutkan protes dengan mogok
bertanding pada pertandingan perebutan medali perunggu melawan Burma.
2. Super-Mokh membungkam Senayan,
vs Malaysia 0-1, SEA Games 1979 Setelah kasus mogok pada partisipasi debut, Indonesia
berhasil melaju ke babak puncak SEA Games 1979 yang digelar di kandang sendiri.
Ratusan ribu pasang mata memadati Senayan berharap Indonesia mampu melengkapi gelar
juara umum dengan medali emas cabang primadona, sepakbola. Apalagi musuh di
laga puncak adalah seteru abadi, Malaysia. Harapan masyarakat Indonesia
musnah di kaki penyerang legendaris Harimau Malaya, Mokhtar Dahari.
Memanfaatkan kecerobohan Ronny Pattinasarany, pemain berjuluk Super-Mokh itu
berhasil membobol gawang Ronny Paslah pada menit ke-21. Indonesia gagal
membalas sepanjang sisa pertandingan dan rivalitas dua negara tetangga ini pun
kian dalam.
2. Raksasa melawan liliput, vs
Fiji 3-3, Kualifikasi Piala Dunia 1982
Indonesia tak mampu mengalahkan Fiji, negara seukuran provinsi Nusa Tenggara
Barat, dalam dua pertemuan pada kualifikasi Piala Dunia 1982. Tergabung di Sub
Grup A kualifikasi Piala Dunia 1982 bersama Selandia Baru, Australia, Taiwan,
dan Fiji, Indonesia nyaris saja terhempas menjadi juru kunci. Hasil buruk
dibukukan pada empat laga pertama ketika dibekuk Selandia Baru 2-0 dan 5-0,
kandang dan tandang, menyerah 2-0 dari Australia di Melbourne, dan bermain
imbang 0-0 melawan tuan rumah Fiji. PSSI memutuskan mengganti pelatih Harry
Tjong dengan Endang Witarsa. Di Senayan, dua hari sebelum melawan Fiji, seperti
dilansir Tempo, manajer Syarnoebi Said akan menyuruh pemain Indonesia bersumpah
guna menepis kecurigaan kemungkinan disuap. Di lapangan, Indonesia sempat unggul 3-1 sebelum akhirnya
disamakan 3-3 oleh Fiji
hingga pertandingan berakhir. Beruntung Indonesia
selamat dari posisi juru kunci setelah menaklukkan Australia 1-0 pada laga pamungkas
yang sudah tidak menentukan.
4. Antiklimaks Garuda 1, vs
Thailand 0-7, SEA Games 1985
Hanya empat bulan setelah sukses menjuarai Sub Grup B kualifikasi Piala Dunia
1986 dan hanya kalah dari Korea Selatan yang lolos ke Meksiko, Indonesia tidak
tampil dengan standar yang sama di SEA Games di Thailand. Padahal Indonesia
tampil dengan sisa-sisa skuad Garuda 1 yang berlatih khusus di Brasil. Bedanya,
Bertje Matulapelwa ditunjuk menjadi pelatih menggantikan Sinyo Aliandoe. Pada
partisipasi kali ini, Indonesia
hanya mampu bermain imbang sekali dalam empat pertandingan. Puncaknya adalah
kekalahan telak 7-0 dari tuan rumah Thailand di semi-final. Usai SEA
Games, Bertje tetap dipercaya PSSI menangani timnas. Seperti diketahui, Bertje
kemudian sukses membawa Indonesia
menempati peringkat keempat Asian Games 1986. Kegagalan SEA Games rupanya
menjadi pelecut Indonesia untuk melaju jauh di Asian Games dan kemudian sukses
menjuarai SEA Games 1987 yang digelar di Jakarta.
5. Gol bunuh diri Mursyid
Effendy, vs Thailand 2-3, Piala Tiger 1998
Untuk menghindari tuan rumah sekaligus favorit Vietnam di semi-final, Indonesia
dan Thailand "menolak" menang pada pertandingan terakhir babak
penyisihan Grup A. Kedua tim sudah dipastikan lolos ke semi-final, tetapi hasil
imbang saja sudah cukup bagi Thailand untuk menempati posisi runner-up dan
terhindar dari laga melawan Vietnam. Ketidakseriusan memuncak usai jeda. Indonesia memimpin dua kali sebelum selalu
disamakan Thailand.
Puncaknya, pada menit ke-90 Mursyid Effendi melesakkan bola ke dalam gawang
sendiri! Thailand menang 3-2
dan berhadapan dengan Vietnam
di semi-final. Ketua Umum PSSI Azwar Anas menyambut kepulangan timnas di
bandara dan sambil berlinang air mata menyatakan pengunduran diri karena
insiden memalukan itu. Setelahnya, Mursyid juga mendapat sanksi larangan
bermain untuk timnas seumur hidup oleh FIFA.
6. Antiklimaks di Negeri Tirai
Bambu, vs Cina 0-5, Piala Asia 2004
Bersama pelatih Bulgaria yang senantiasa didampingi penerjemah bahasa
Indonesia, Ivan Kolev, membawa Garuda mengejutkan Asia dengan menundukkan Qatar
2-1 pada laga perdana Grup A Piala Asia 2004. Hasil tersebut menyebabkan Qatar memecat
pelatih Philippe Troussier. Optimisme pun melambung karena minimal Indonesia membutuhkan satu poin tambahan melawan
Cina dan Bahrain
pada dua laga susulan. Nyatanya,
Indonesia
tampil lesu pada laga kedua menghadapi tuan rumah Cina. Alex Pulalo mendapat
kartu merah pada menit ke-29 dan Garuda menyerah 5-0. Pada laga terakhir Indonesia dikalahkan Bahrain 3-1 dan gagal masuk delapan
besar. Kolev kemudian tidak melanjutkan tugas sebagai pelatih dan digantikan
oleh Peter Withe untuk Piala AFF tahun yang sama. Tim besutan Withe, dengan
mengandalkan bintang baru seperti Boaz Solossa dan Ilham Jayakesuma, tampil
mempesona di turnamen tersebut.
7. Blunder Garuda Muda, vs Suriah
0-7, kualifikasi Piala Dunia 2010
Gairah publik meningkat setelah penampilan Indonesia di Piala Asia 2007 yang
terbilang memuaskan meski gagal lolos ke babak perempat-final. Semangat melaju
jauh di kualifikasi Piala Dunia pun mengapung ketika berhadapan dengan Suriah
di babak eliminasi. Apa lacur, 9 November, Indonesia harus mengakui keunggulan
tim tamu 4-1. Merasa tak lagi punya peluang, Indonesia
mengirimkan tim U-23 yang disiapkan mengikuti
SEA Games 2007. Kebijakan
itu terbukti menjadi blunder. Garuda Muda menyerah 7-0 di Damaskus dan gagal
total di Nakhon Rachasima, Thailand. Pelatih Ivan Kolev yang
dipuja-puja saat Piala Asia pun sontak kehilangan kepercayaan PSSI dan
digantikan dengan Benny Dollo di awal 2008.
8. Tersandung di Bukit Jalil, vs
Malaysia 0-3, leg pertama final Piala AFF 2010
Sejengkal lagi perjuangan Indonesia mengakhiri puasa gelar sejak 1991 akan
terwujud di Piala AFF 2010. Indonesia
selalu menang dalam tiga pertandingan penyisihan grup dan dua laga semi-final
melawan tim kejutan Filipina. Lawan di laga puncak adalah Malaysia, tim
muda yang ditelan 5-1 pada laga pembuka di Senayan. Dengan segala sorotan dan
eksploitasi terhadap tim asuhan Alfred Riedl, termasuk dengan kegiatan tim
mengikuti pengajian sebelum laga final, Indonesia tersandung di Bukit
Jalil. Malaysia
mengejutkan dengan kemenangan 3-0 dan hasil itu hanya mampu dibalas 2-1 pada
laga kedua di Senayan beberapa hari berselang. Harapan publik untuk berprestasi
pun kembali pupus. Enam bulan setelah turnamen, terjadi pergantian kepemimpinan
PSSI dan Riedl secara kontroversial dipecat untuk digantikan dengan Wim
Rijsbergen.
9. Skandal Senayan, vs Yugoslavia
Selection 2-3, Laga eksebisi
Almarhum Tony Pogacnik tercenung setiap kali ditanya wartawan tentang peristiwa
memalukan yang terjadi di tengah persiapan Indonesia menghadapi Asian Games
1962 di negeri sendiri. Persiapan untuk cabang sepakbola digelar serius dengan
menggelar pelatnas dan membentuk dua tim, Banteng dan Garuda. Sejumlah laga
ujicoba digelar, antara lain menghadapi Torpedo Moskwa dan Yugoslavia
Selection. Pada kekalahan 3-2 melawan Yugoslavia Selection disinyalir sejumlah
pemain timnas menerima suap. Pogacnik bahkan sampai berlinang air mata ketika
kepolisian memeriksa dan menahan beberapa pemain atas tuduhan tersebut. Pada
akhirnya, Pogacnik terpaksa membentuk tim yang sama sekali baru. Di Asian
Games, Indonesia
gagal terbang tinggi dan tersisih di penyisihan grup.
10. Tragedi Manama, vs Bahrain
0-10, Kualifikasi Piala Dunia 2014
Terakhir, tentu saja hasil yang baru saja terjadi di pertandingan terakhir
kualifikasi menuju Brasil 2014. Tak lagi punya peluang, ditambah dengan masalah
dualisme kompetisi, PSSI memberangkatkan tim yang hanya diisi para pemain dari
kompetisi legal. Wim Rijsbergen tidak lagi menjadi pelatih dan Aji Santoso
dipercaya menukangi tim. Hasil buruk rupanya merusak laga debut Aji serta
sebagian besar para pemain di ajang internasional. Kekalahan 10-0 di Manama ini
merupakan yang terbesar dialami Indonesia
sepanjang sejarah, melampaui rekor 9-0 ketika dikalahkan Denmark pada
1974.
MASUKNYA POLITIK PECAH BELAH / DEVIDE ET IMPERA DI ORGANISASI PSSI
Politik adu domba atau devide et impera adalah kunci sukses mengusai bangsa Goliath yang bodoh ini. Secara definitif, devide et impera adalah kombinasi
strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan
menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi
kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Belanda menyadari
betul, dengan cara mempelajari keberagaman Indonesia, mereka ubah
keberagaman itu menjadi rasa kebencian dengan strategi devide et impera mereka.
Dari kolonialisme Belanda akhirnya bangsa ini mengenal praktek devide et impera. Sebelum
zaman kolonial, keberagaman bangsa ini disadari oleh masing-masing
budaya di Indonesia. Tidak pernah terjadi kisah serial Perang Nusantara
I, II, III dan seterusnya. Perang antar kerajaan memang terjadi, tetapi
bukan karena perbedaan, semata-mata ambisi raja-rajanya sendiri. Kita
pernah membenci kolonialisme, tetapi kita meniru kelakuan mereka. Bangsa
ini tidak berbakat imperialis. Lha Majapahit bagaimana? baca baik-baik,
apa pernah ada koloni orang-orang Majapahit di Melayu, di Papua, di
Kalimantan Tanjungpura? Majapahit tetap menghargai perbedaan meskipun
haus penghormatan. Sriwijaya bagaimana pak? Ya sama saja, yang penting
pelabuhan-pelabuhan berkiblat ke Sriwijaya. Mereka tidak pernah
mengibarkan kebencian atas perbedaan.
Kini, devide et impera merambah
sepakbola Indonesia. Dan praktek itu akhirnya memang berhasil
menggulingkan kekuasaan sebuah rezim sepakbola di PSSI yang selama 8
tahun menguasai sepakbola Indonesia.
Karena ketidakpuasan terhadap rezim Nurdin Halid yang selama
8 tahun menjalankan kompetisi sepakbola dengan amburadul, nir prestasi
internasional,kompetisi ISL yang penuh dengan mafia, seorang Arifin
Panigoro memunculkan liga tandingan, LPI. Dengan klaim lebih
profesional, jujur dan bebas dari uang rakyat. Maka, bermuncullah
klub-klub baru hasil konsorsium untuk menyemarakkan liga tandingan
tersebut. Umpan itu juga termakan oleh beberapa klub lama yang karena
dikecewakan oleh induk organisasinya akhirnya membelot dan mengikuti
liga tandingan. Persema, Persibo, PSM Makassar, dan Persebaya dianggap
berkhianat. Arifin Panigoro berhasil menjalankan devide et impera-nya.
Tak terima dengan pembelotan klub-klub tersebut, Nurdin
Halid bertindak tegas. Keempat klub pembelot tersebut dikeluarkan dari
PSSI, meski kemudian akhirnya hanya PSM yang diampuni. Mungkin karena
ikatan kedaerahan yang membuat Nurdin Halid mengampuni PSM. Sementara
itu, Persebaya, yang entah kenapa menjadi musuh bebuyutan Nurdin, malah
dibuatkan klub tandingannya. Diboyonglah para pemain Persikubar ke
Surabaya, dan Nurdin pun membentuk Persebaya tandingan. Devide et impera.
Mengapa waktu itu hanya Persebaya yang dikloning? Karena
Persebaya mempunyai basis supporter yang besar dan fanatik. Beda dengan
Persema dan Persibo. Dengan mass power yang besar itulah Nurdin berharap
Persebaya bikinannya akan bisa menarik sebagian supporter Persebaya
asli untuk mendukung kekuasaannya. Meski kenyataannya terbalik.
Persebaya-nya Nurdin malah tidak memiliki dukungan supporter.
Aksi people power para supporter Indonesia akhirnya berhasil
menggulingkan Nurdin dari PSSI. Pengurus memang telah berganti, namun devide et impera masih
terus berlanjut. Dengan maksud mereset kompetisi agar bisa dinilai
lebih profesional, Ketua Umum PSSI terpilih Djohar Arifin merangkul
kembali klub-klub yang dulu membelot. Dan operator kompetisi juga
diganti karena ditenggarai mempunyai banyak hutang dan dijadikan ladang
korupsi oleh pengurus lama.
Keputusan yang dianggap sepihak tersebut membuat beberapa
orang pengurus membelot dan membentuk organisasi tandingan KPSI.
Didukung oleh beberapa klub partisipan liga yang lama, akhirnya mereka
memunculkan lagi liga tandingan diluar PSSI. Muncullah dualisme liga
Indonesia, ISL dan IPL. Djohar Arifin yang
menahkodai PSSI jelas kocar-kacir dengan serangan tersebut. Dengan
alasan hukum dan administrasi serta deadline dari AFC, Djohar meminta
semua klub sudah harus berbadan hukum. Pengurus klub yang tidak siap
lebih memilih berlaga di ISL, dan muncullah dualisme klub. Ada Arema
IPL, ada pula Arema ISL. Persija, PSMS, Persis Solo, dan Persebaya yang
sudah lebih dulu dikembarkan. Sedangkan PSM Makassar yang sudah mapan di
IPL, sedang dibuatkan kembarannya oleh Kadir Halid, adik dari Nurdin
Halid. Divide et impera.
Setiap kubu punya alasan tersendiri, namun, tidak adakah kebesaran
hati mereka untuk bisa duduk bersama mewujudkan kebersamaan dan
persatuan? Berkacalah pada sejarah bangsa kita sendiri. Dalam pembahasan
mengenai bahasa persatuan saat kumpul-kumpul Boedi Oetomo 1928, Jong Ambon keberatan dengan bahasa
persatuan Indonesia yang didominasi kata dalam bahasa Melayu. Namun,
kebesaran hati mereka yang menerima bahasa persatuan Indonesia akhirnya
mampu menghasilkan sebuah kekuatan yang tidak terhingga: sumpah pemuda
dan akhirnya kemerdekaan Indonesia. Lihat pula kebesaran hati Bung Hatta yang menepikan emosi, warisan konflik, serta egonya untuk bernegosiasi dengan penjajah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Hingga hasilnya dapat kita nikmati sampai saat ini, yaitu kemerdekaan penuh dan berdaulat.
Inilah yang seharusnya dicontoh oleh KPSI dan PSSI, jiwa kepahlawanan untuk menyelamatkan sepak bola nasional harus dikedepankan ketimbang saling menjatuhkan satu sama lain.
Posted in:
0 komentar:
Posting Komentar