This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 16 Juli 2012

Tokoh-tokoh Perumus Lahirnya Dasar Negara Pancasila

Bangsa Indonesia telah membulatkan tekad untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara. Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia merupakan hasil kerja keras yang melibatkan banyak tokoh. Tokoh-tokoh tersebut telah berjuang dengan tulus dan ikhlas untuk merumuskan dasar negara, antara lain: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Supomo, K.H. Agus Salim, K.H Abdul Wahid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin. Berikut dijelaskan riwayat para tokoh tersebut.

                                                             Ir. Soekarno                                                                                                                    
                                                                       

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.

Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan
Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai.
Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi".

Detik Detik Kematian Sang Presiden

Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
-
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
-
Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno

tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
-
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
-
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu
-
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
-
“Pak, Pak, ini Ega…”
-
Senyap.
-
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
-
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
-
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
-
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
-
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
-
“Hatta.., kau di sini..?”
-
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
-
“Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”
-
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
-
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
-
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
-
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
-
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
-
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
-
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
-
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
-
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
-
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
-
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.
-
Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
-
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
-
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
-
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Sumber :


                                                   Dr. Mohammad Hatta

 
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia

terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta.
Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

                                           Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
 

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Berikut Biodata dari Mohammad Hatta

Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)

Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902

Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980

Istri : (Alm.) Rahmi Rachim

Anak :

* Meutia Farida
* Gemala
* Halida Nuriah

Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan :

* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)

Karir :

* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)

Referensi :
- http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22
-
http://www.ghabo.com/gpedia/index.php/Mohammad_Hatta

                                                               Mr. Soepomo

 
Prof. Mr. Dr Soepomo (EYD: Supomo; Sukoharjo, 22 Januari 1903Jakarta, 12 September 1958) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang Dasar 1945, bersama denganMuhammad Yamin dan Sukarno (lihat Marsillam Simanjuntak).

"Pandangan negaraintegralistik : sumber, unsur, dan riwayatnya dalam persiapan UUD 1945" sebagaiacuan tambahan tentang peran Soepomo dalam penyusunan UUD 1945). Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, kakek Soepomo dari pihak ayah adalah
Raden Tumenggung Reksowardono -ketika itu menjabat sebagai Bupati Anom Sukoharjo-dan kakek dari pihak ibu adalah Raden Tumenggung Wirjodiprodjo, Bupati NayakaSragen. Sebagai putra keluarga priyayi, Soepomo berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (MeerUitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1923. Iakemudian ditunjuk sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Sragen (Soegito 1977).

Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Rijskuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelisvan Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adatIndonesia.

Thesis doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelselin het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta (Pompe 1993). Ditulis dalam bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa subyektifitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Frans Magnis-Suseno "Etika Jawa" dan tulisan-tulisan Ben Anderson dalam "Language and Power" sebagai tambahan acuan tentang etika Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency (Soepomo).

Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan berdasarkan proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 (Soegito 1977). Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber darimunculnya fasisme di Indonesia. Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Negara "Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling dekat dengan ideal Soepomo. Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta padatahun 1958. Beliau dimakamkan di Solo.

                                                              K.H. Agus Salim

 
Lahir di Bukittinggi, 8 Oktober 1884. Pendidikan ELS dan HBS. Setelah mendalami Islam di Jeddah, tahun 1911 ia kembali ke tanah air. Setahun kemudian di kota Gadang ia mendirikan HIS (Holland Islandse School), yang diasuhnya sampai tahun 1915. Di Jakarta ia bekerja terakhir di Bataviasche Neewsblad dan sejak itu rajin menulis artikel.

Karier politiknya dimulai dalam Serikat Islam. Ketika masuk, ia langsung duduk sebagai anggauta pengurus. Namanya cepat terkenal karena pemikiran-pemikirann yang didukung oleh pengetahuan yang luas mengenai berbagai hal.

Tahun 1919 mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh bersama Semaun. Organisasi ini menuntut kepada Pemerintah Belanda supaya Indonesia segera didirikan DPR yang sesungguhnya. Ia juga mengorganiser pemogokan buruh di berbagai tempat seperti Semarang, Surabaya dan Cirebon.

Dalam konggres Islam di Garut tahun 1924 (diadakan berkat kerjasama antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah) ia menguraikan fungsi agama dan ilmu pengetahuan serta hubungan antara Islam dan Sosialisme. Ia melontarkan gagasan dibentuknya Pan Islamisme.

Tahun 1912-1924, Agus Salim duduk dalam Volksraad. Ia banyak mengecam tindakan-tindakan pemerintah yang banyak menyengsarakan rakyat. Ia juga menuntut agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi dalam Volksraad.

Pemandangannya mengenai nasionalisme dibentangkannya dalam konggres luar biasa Al Islam di Surabaya. Tahun 1925 ia menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta dan memimpin harian Hindia Baru yang terbit di Jakarta. Dalam konggres ia berpidato dalam bahasa Perancis sehingga membuat orang kagum atas kemahirannya menggunakan bahasa tersebut, sekaligus menaikkan nama Indonesia di luar negeri.

Kedudukan wanita dalam masyarakat menjadi perhatiannya. Ia menyerukan agar dalam lingkungan umat Islam dilakukan emansipasi. Dianjurkan dalam rapat-rapat yang dihadiri laki-laki dan perempuan tidak perlu diadakan tabir yang memisahkan keduanya.

Tahun 1930 an, pergerakan nasional mengalami masa suram. Pemerintah Belanda menjalankan politik tangan besi. Dalam situasi demikian beberapa partai menempuhh taktik kooperasi agar masih bisa bergerak. Agus Salim memilih taktik ini.

Menjelang masa zaman Jepang ia diangkat menjadi anggauta BPUPKI, kemudian berganti nama menjadi PPKI. Ia duduk dalam Panitia Sembilan dan menghasilkan Piagam Jakarta. Ia juga duduk dalam Panitia Perancang UUD dan sekaligus anggauta penghalus bahasa bersama Prof.Supomo dan Prof.Hussein Djayadinigrat.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, K.H. Agus Salim aktif mengambil bagian dalam bidang diplomasi. Ia duduk dalam kabinet sebagai Wakil Mentri Luar Negri, kemudian Mentri Luar Negri hingga Agresi Meliter II.

Maret 1947 ia diutus ke New Delhi Conference kemudian mengunjungi negara-negara Arab dengan tugas mengusahakan pengertian sedalam-dalamnya dari negara-negara Arab tentang Kemerdekaan Indonesia. Misi itu berhasil hingga negara-negara Arab menyokong RI di dalam persidangan PBB.

Waktu Belanda menduduki Yogyakarta, ia bersama-sama Presiden dan Wapres serta mentri-mentri ditangkap dan diasingkan ke Sumatra. Bersama Sutan Sjahrir, awalnya diasingkan di Brastagi kemudian dipindah ke Prapat dan akhirnya ke Bangka. Setelah pengakuan kedaulatan RI ia tidak aktif lagi dalam pemerintahan.
Tahun 1953, ia memberi kuliah agama Islam di Cornell dan Princeton University di AS.

K.H. Agus Salim lebih meletakkan arti Islam sebagai pandangan hidup setiap muslim yang sadar akan tugas dan kewajibannya di tengah-tengah masyarakat bangsanya. Sebagai hasil penyelidikannya atau ijtihad yang dipeloporinya, pandangannya terhadap berbagai masalah agama bercorak tersendiri. Ia selalu berfikir tentang apa yang dilihatnya serta apa yang dialaminya.

Ia diangkat menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam Negeri di Yogyakarta. Tugas itu belum sempat dijalankannya, tanggal 4 Nopember 1954 K.H. Agus Salim meninggal dunia. Berkat jasa-jasanya ia dianugerahi Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
 

Meski tidak sempat menjalankan tugas sebagai Guru Besar di PTIN, namun pengabdian K.H.Agus Salim sungguh lengkap untuk negri ini. Bagaimana tidak? Ia berjuang di Serikat Islam, Jepang, RI didirikan, Agresi Militer Belanda, emansipasi wanita hingga memberi kuliah saat Indonesia sudah merdeka. Tidak aneh lagi kalau namanya kini menjadi banyak dijadikan nama jalan besar di kota-kota besar di tanah air !!

                                                            
                                            

                                                       K.H. Abdul Wachid Hasyim
  
Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila. Putera KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 dan wafat di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada usia 38 tahun. Ayahanda Abdurrahman Wahid ini menjabat Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta, Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman).
Mantan Ketua Tanfidiyyah PBNU (1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng (1947 – 1950) ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan Islam Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).

Pada tahun 1939, ia ikut berperan pada saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Pada 24 Oktober 1943 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebuah organisasi menggantikan MIAI.
Saat pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Tahun 1945 ia pun menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953.

Menimba Ilmu
Wahid Hasjim lahir dari buah kasih KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) pada pagi Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
Masa kecilnya diisi dengan pengasuhan di Madrasah Tebuireng hingga usi 12 tahun. Sejak kecil sudah hobi membaca dan giat memelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.
Pada usia 13 tahun, ia sempat mondok dan belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama 25 hari, mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan. Kemudian pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya.
Kemudian, pada usia 15 tahun, ia kembali ke Tebuireng dan baru mengenal huruf latin. Setelah mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. JUga rajin membaca koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.
Ia pun mulai belajar Bahasa Arab dan Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Setelah itu belajar Bahasa Inggris.

Ketika umurnya baru 18 tahun, pada tahun 1932, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Mereka berdua, selain menjalankan ibadah haji, juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Ia menetap di tanah suci selama 2 tahun.

Terobosan Kurikulum Pesantren
Sepulang dari tanah suci, ia membantu ayahnya mengajar di pesantren. Juga giat terjun ke tengah-tengah masyarakat. Pada usianya baru menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid sudah membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh.
Beliau sudah menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dia pun melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Namun, usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Tetapi kemudian pada tahun 1935, usulannya tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70 persen kurikulum berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.

Pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman bacaan (Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan ini juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
Lalu, ia menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang) pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M. Pada prosesi pernikahan ini, ia hanya berangkat seorang diri ke Denanyar dengan hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Bukan lantaran tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi ia sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang.
Pernikahan Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim.
Sembilan tahun kemudian, 1947, ayahnya KH. M. Hasyim Asy’ari meningal dunia. Kiai Wahid pun terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng menggantikan ayahandanya. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang.


Masuk NU dan Mendirikan Masyumi
Di tengah kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai Wahid aktif menjadi pengurus NU. Dimulai jadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang, 1938 dan Pengurus PBNU bagian ma’arif (pendidikan), 1940. Ia giat mengembangkan dan mereorganisasi madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Ia menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama dan juga aktif menulis di Suara NU dan Berita NU.
Kemudian tahun 1946, Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.
Pada bulan November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim.
Dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wahid tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh Masyumi tetap terjalin baik.


Pahlawan Nasional
Pada tahun 1939, NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan reorganisasi dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya.

Di bawah kepemimpinan Kiai Wahid, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid Hasyim menolak keputusan itu.
Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Kiai Wahid dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui jabatan ini, Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama.
Pada tahun 1942, Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy’ari dan menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wahid.

Bersama para pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.
Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
 

Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
1.      Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2.      Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3.      Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.

Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.


Musibah di Cimindi
Hari itu, Sabtu 18 April 1953, Kiai Wahid bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Kiai Wahid ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari harian Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan putera sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kiai Wahid duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu diguyur hujan lebat sehingga jalan menjadi licin. Lalu lintas cukup ramai.
Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, Kiai Wahid dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Kiai Wahid terluka bagian kening, mata, pipi, dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Kiai Hasyim dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul 10.30, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt. dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik. Inna liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.
Jenazah Kiai Wahid kemudian dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasanya beliau juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.

Kiai Wahid Hasyim adalah putra dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH Hasyim Asy’ari. Silsilahnya dari jalur ayah bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Islam Demak. Sedangkan dari jalur ibunya, bersambung hingga Ki Ageng Tarub. Dan bila dirunut lebih jauh, kedua silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja kerajaan Mataram. Maka tidak heran jika pada akhirnya Wahid Hasyim menjadi seorang figur, panutan masyarakat, bahkan gelar pahlawan nasionalpun ia raih. Karena Wahid Hasyim dikenal sebagai sosok yang mempunyai banyak sumbangsih terhadap negara Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Selain dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, Wahid Hasyim aktif dibeberapa organisasi kemasyarakatan seperti MIAI, Masyumi, Liga Muslimin Indonesia, hingga di organisasi terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Di beberapa organisasi tersebut ia selalu dipercaya untuk menjadi Rais Akbarnya. Namun yang paling banyak memberikan sumbangsih dan mengabdi terhadap organisasi yaitu di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi yang didirikan oleh ayahnya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Karirnya di NU dimulai dari pengurus ranting NU Cukir Jombang, ketua NU Cabang Jombang, hingga kemudian pada tahun 1940 dipilih menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan). Dari sinilah, perjuangan di NU mulai banyak peningkatan sampai akhirnya pada tahun 1946 Wahid Hasyim diberikan amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU menggantikan Kiai Ahmad Shiddiq.

Pada masa kepemimpinannya di NU, Wahid Hasyim tidak hanya berkiprah memajukan serta meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Beliau juga mampu berkiprah dalam perjuangan politik. Namun perjuangan politiknya bukan perjuangan politik pragmatis untuk memperoleh sebuah kekuasan dan kepentingan pribadi, melainkan ia mampu berkiprah memperjuangkan politik kebangsaan dan kerakyatan. Kiprah Wahid Hasyim di NU benar-benar mengabdi untuk NU, sehingga pada tahun 1939 atas nama wakil NU, ia mampu membawa NU masuk bergabung dalam MIAI sebuah perkumpulan dari berbagai organisasi Islam dalam satu wadah. Jadi, pada usia 25-26 tahun Wahid Hasyim sudah menjadi ketua pergerakan dengan skala nasional dalam dua organisasi.

Selain itu, Wahid Hasyim pernah mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dengan mengajak M Natsir dan Anwar Cokrominoto, mereka menggerakkan pemuda Islam yang militan, berani berjihad untuk agama, bangsa, dan tanah airnya. Gerakan ini ini diberi nama GPPI (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), yang lahir  pada tanggal 2 Oktober 1945. GPPP ini lahir, sebagai organisasi gerakan kepemudaan Islam yang bergerak dalam lapangan politik dan memiliki kecenderungan radikal 

Sejak itulah, kita mengetahuai bahwasanya Wahid Hasyim adalah tokoh pergerakan yang mampu membangkitkan NU di pentas nasional. Ia juga mampu meningkatkan bidang pendidikan dan sosial-politik NU. Dengan semua ini, Wahid Hasyim bisa menunjukkan bahwa NU mempunyai kualitas dan bisa berkiprah walaupun warganya mayoritas berlatar belakang kalangan tradisionalis (pesantren).

Meskipun berlatar belakang dari kalangan tradisionalis, ia tetap konsisten, ikhlas, dan sabar dalam mengabdi pada NU. Dengan kekonsistenan, keikhlasan, dan kesabaran dalam mengabdi di NU, akhirnya NU memberikan sebuah “barokah” (nilai tambah), pada tahun 1949-1952 Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama. Dengan bermodal perjuangan dan mengabdi pada bangsa Indonesia khususnya NU, akhirnya Wahid Hasyim mampu menjadi seorang yang sukses, diterima oleh banyak kalangan, memimpin organisasi terbesar di Indonesia seperti, jam’iyah Nadlatul Ulama (NU) dan organisasi terbesar lainnya yang berskala nasional hingga dipercaya menjadi Menteri Agama.

Buku “Biografi Singkat Kiai Wahid Hasyim” ini, menceritakan sejak ia lahir, pendidikan, kaya-karyanya, perjuangannya di Pesantren Tebuireng Jombang hingga pada saat aktif diberbagai organisasi keagamaan kemasyarakatan yang berskala nasional khususnya di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Juga beberapa pemikirannya tercantum dalam buku ini, mulai tentang agama dan negara, politik, pergerakan, perjuangan umat Islam, pendidikan dan pengajaran, hingga tentang pemikiran Kementerian Agama.

Salah satu pemikiran Wahid Hasyim yang menarik dalam buku ini, adalah tentang pemikiran politiknya. Pemikiran dan gerakan politik Wahid Hasyim adalah kebangsaan, kerakyatan, membela negara mengayomi masyarakat. Politik bagi Wahid Hasyim bukanlah sebagai kendaraan untuk meraih sebuah kekuasaan dan jabatan, melainkan ia untuk mengabdi untuk negara, mengayomi masyarakat dari semua golongan. Namun kenyataannya sampai sekarang justru politik dianggap sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan, jabatan, demi kepentingannya sendiri.

Dari buku ini, setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauh mana kita mengenal sosok dan latar belakang Wahid Hasyim. Agar supaya muncul penulis dan peneliti yang mampu menulis biografi para tokoh, Kiai, yang mempunyai banyak sejarah dan sumbangsih terhadap negara. Dengan harapan bisa diteladani oleh masyarakat khususnya para santri pondok pesantren. Semoga pejuangan yang dilakukan oleh Wahid Hasyim untuk Negara, masyarakat, khususnya warga nahdliyin bermamfaat dan barokah. Amin


                                                      Mr. Muhammad Yamin
 
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.

Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.

Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.

Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).

Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).

Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.

Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.

Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.

Keith Robert Foulcher (1974) dalam

disertasinya mengemukakan bahwa konsepsi Yamin tentang soneta dipengaruhi sastra Belanda dan tradisi kesusastraan Melayu. Karena itu, soneta Yamin bukanlah suatu adopsi bentuk eropa dalam keseluruhan kompleksitas strukturalnya, tetapi lebih merupakan suatu pengungkapan yang visual, sesuatu yang bersifat permukaan saja dari soneta Belanda, yang masih memiliki ekspresi puitis yang khas Melayu.

Berikut ini ditampilkan sebuah soneta Yamin yang masih dilekati tradisi sastra Melayu dan yang menggambarkan kerinduan dan kecitaan penyair pada tanah kelahiran.

Di Lautan Hindia

Mendengarkan ombak pada hampirku

Debar-mendebar kiri dan kanan

Melagukan nyanyi penuh santunan

Terbitlah rindu ke tempat lahirku

Sebelah Timur pada pinggirku

Diliputi langit berawan-awan

Kelihatan pulau penuh keheranan

Itulah gerangan tanah airku

Di mana laut debur-mendebur

Serta mendesir tiba di papsir

Di sanalah jiwaku, mula bertabur

Di mana ombak sembur-menyembur

Membasahi barissan sebuah pesisir

Di sanalah hendaknya, aku berkubur

Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara. Kebesaran sejarah berbagai kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu sajaknya, ia mengatakan demikian: ‘….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia’.

Keagungan dan keluhuran masa silam bangsanya menimbulkan pula kesadaran pada diri Yamin bahwa:

Buat kami anak sekarang

Sejarah demikian tanda nan terang

Kami berpoyong asal nan gadang

Bertenaga tinggi petang dan pagi

Di atas terbaca warna nasionalisme dalam sajak-sajak Muhammad Yamin. Warna nasionalisme dalam kepenyairan Yamin agaknya tidak dapat dipisahkan dari peranan Yamin sebagai pejuang dalam masa-masa mencapai kemerdekaank. Di samping itu, adanya Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda itu juga memegang peranan yang amat penting. Dengan adanya sumpah pemuda itu kesadaran nasional semakin meningkat dan organisasi-organisasi pemuda yang semula bersifat kedaerahan mulai mengubah dirinya ke arah nasionalistis. Hal ini dapat dikatakan berpengaruh pada pandangan Yamin sebagai penyair dan peranannya yang ingin disumbangkannya untuk kejayaan bangsa dan negaranya. Sebagai pemuda yang mencita-citakan kejayaan masa depan bangsanya, ia tetap mengenang kegemilangan masa silam bangsanya:

Tiap gelombang di lautan berdesir

Sampai ke pantai tanah pesisir

Setiap butir berbisik di pasir

Semua itu terdengar bagiku

Menceriterakan hikayat zaman yang lalu

Peninggalan bangsaku segenap waktu

Berkat cahaya pelita poyangku

Penggalan sajak berikut ini juga memperlihatkan adanya kesadaran untuk memelihara hasi-hasil yang pernah dicapai oleh para pendahulu bangsa dan menjadikannya sebagai modal untuk meraih kegemilangan masa depan:

Adapun kami anak sekarang

Mari berjejrih berbanting tulang

Menjaga kemegahan jangalah hilang,

Supaya lepas ke padang yang bebas

Sebagai poyangku masa dahulu,

Karena bangsaku dalam hatiku

Turunan Indonesia darah Melayu

Patriotisme Yamin yang juga mengilhami untuk menumbuhkan kecintaan pada bangsa dan sastra. Yamin melihat adanya hubungan langsung antara patriotisme yang diwujudkan lewat kecintaan pada bahasa dan pengembangan sastra Indonesia. Sebagai penyair yang kecintaannya pada bahasa nasionalnya berkobar-kobar, ia cenderung mengekspresikan rasa estetisnya dalam bahasa nasionalnya dengan harapan kesusastraan baru akan tumbuh lebih pesat. Hal ini tampak dalam baik berikut ini:

Apabila perasaan baru sudah mendirikan pustaka

baru dalam bahasa tumpah daerah kita, maka

lahirlah zaman yang mulia, sebagai pertandaan

peradaban baru, yaitu peradaban Indonesia-Raya

Di Jakarta, dalam usia 59 tahun—yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962 – Muhammad Yamin tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia. Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Baginyta sejarah adalah salah satu cara dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William Shakespeare (1564–1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861–1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga

Karya Muhammad Yamin

a. Puisi

(1) Indonesia, Tumpah Darahku, Jakarta: Balai Pustaka, 1928. (kumpulan)


b. Drama

(1) Ken Arok dan Ken Dedes, Jakarta: Balai Pustaka, 1934

(2) Kalau Dewa Tara Sudah Berkata. Jakarta: Balai Pustaka, 1932

c. Terjemahan

(1) Julius Caesar karya Shakspeare, 1952

(2) Menantikan Surat dari Raja karya R. Tangore, 1928

(3) Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya R. Tigore, t.th

(4) Tan Malaka. Jakarta: Balai Pustaka,1945

d. Sejarah

(1) Gadjah Mada, Jakarta: 1945

(2) Sejarah Pangerah Dipenogoro, Jakarta: 1945


Referensi :

- http://tunas63.wordpress.com/2009/01/20/biografi-muhammad-yamin/

Rabu, 11 April 2012

SYEKH JUMADIL KUBRO







Syeh Jumadil Kubro merupakan salah satu ulama penyebar agama Islam di pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. Ia diyakini sebagai keturunan ke-10 dari al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Pada awalnya, Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, di sebelah selatan Vietnam, yang kemudian mengislamkan Kerajaan Campa, sementara adiknya Maulana Ishaq pergi ke Aceh dan mengislamkan Samudra Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar Makam Syeh Jumadil Kubro terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan makamnya Ditempat Makam Syeh Jumadil Kubro ini sering diadakan acara manakib setiap malam Jum”at Paing jam 19.00 dan pada acara peringatan Maulud Nabi, sedangkan setiap Jum”at Legi diadakan acara Mujahadah Kubro dan pengajian . Untuk Khol Akbar diadakan setiap tahun sekali pada bulan Dulkaidah Jum”at terakhir. Dibuka untuk umum setiap hari dan setiap saat.



NAPAK TILAS SYEH JUMADIL KUBRO




Peringatan haul ke 632 Syekh Jumadil Kubro yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Mojokerto beberapa bulan yang lalu menghadirkan banyak acara. Salah satu acara yang menarik untuk menjadi perhatian publik adalah sarasehan sehari dengan tema “ Mengkaji dan Merefleksikan Da’wah Syekh Jumadil Kubro”. Dalam sarasehan tersebut menghadirkan sejumlah pakar, baik dari ahli arkeologi, sejarawan maupun dari kalangan ulama. Dari arkeolog hadir Aris Soviyani M.Hum dan Ni Ketut Wardhani keduanya berasal dari BP 3 Kabupetan Mojokerto sendiri. Sedangkan dari sejarawan Muslim hadir Prof. Badri Yatim dan Agus Sunyoto. Dari beberapa pemaparan narasumber ada benang merah menyatakan bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah tokoh nyata dan benar adanya. Namun bagaimana meninggalnya dan dimana syekh Jumadil Kubro dimakamkan, masih diperdebatkan.

Ada anggapan bahwa makam tujuh yang nisannya bertuliskan arab di Tralaya salah satunya adalah Syek Jumadil Kubro. Oleh karenanya banyak masyarakat berziarah ke tralaya sebagai bentuk ritual melengkapi ziarah wali songo. Tidak hanya sekedar masyarakat awam, sejumlah kyai dan birokrat pun banyak yang meyakini kebenaran tersebut. Bahkan sekarang berdiri bangunan megah sebagai tanda peneguhan klaim kebenaran Syekh Jumadil Kubro memang ada disitu.

Namun anggapan tersebut haruslah didukung dengan bukti kongkret dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara umum maupun secara akademik-ilmiah. Karena bagaimanapun pemerintah atau dalam hal ini ulama harus memiliki dasar yang kuat untuk mengarahkan masyarakat awam akan keberadaan ulama besar Syekh Jumadil Kubro. Jangan sampai hanya demi proyek wisata religi mengorbankan aqidah masyarakat. Jadi diperlukan kebijakan dan kearifan dalam menyikapi tabir keberadaan Syekh Jumadil Kubro.

Benarkah Syekh Jumadil Kubro ada di Troloyo?







Jika kita mau menelaah lebih mendalam S.T Damais seorang arkeolog Belanda pernah meneliti situs Tralaya. Dari penelitiannya tersebut, menyimpulkan bahwa tujuh makam di Tralaya yang bertuliskan Arab tersebut adalah seorang muslim. Anehnya kenapa ada orang muslim ditempat pemakaman kerajaan Majapahit. Padahal tralaya, menurut bahasa kawi berasal dari kata Ksetralaya (lapangan mayat), merupakan makam khusus untuk penguburan kerabat raja, atau orang-orang dalam istana. Sedangkan Agus Sunyoto menyatakan makam tralaya merupakan makam khusus penganut aliran Yoga-tantra. Aliran Yoga-tantra merupakan sekte dari Hindu yang banyak diikuti oleh kerabat Istana. Dan inilah anehnya, kenapa terdapat makam muslim disana. Damais dan Sunyoto sepakat menyatakan bahwa ketujuh makam muslim tersebut adalah kerabat raja, atau orang yang sudah mendapat kehormatan dari raja. Namun ketujuh makam tersebut berdasarkan pembacaan Damais, tidak ada satupun yang menunjukkan nama seseorang. Semuanya hanya menunjukkan tulisan Arab seperti La Ila Ha Ilallah.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makam Syek Jumadil Kubro yang diyakini oleh masyarakat ada di Tralaya seperti sekarang ini, tidak memiliki dasar otentik. Tidak ada satupun bukti bahwa makam tralaya terdapat nama Syek Jumadil Kubro. Karena jika kita menelaah lagi, makam Syekh Jumadil Kubro terdapat diberbagai tempat. Ada yang meyakini Syekh Jumadil Kubro dimakamkan di Yogyakarta, ada pula yang meyakini ada di Bugis. Bahkan ada yang meyakini di Madinah. Semuanya mengklaim kebenaran masing-masing.

 Menempatkan Dakwah Syekh Jumadil Kubro






Jika kita mempertanyakan dimana Syekh Jumadil Kubro, tentu akan menimbulkan problematis yang panjang. Karena akan membutuhkan penelitian dan tenaga besar untuk mengungkapkannya. Tetapi ada satu hal yang menarik untuk kita kaji yakni peran Syekh Jumadil Kubro dalam melakukan transformasi nilai kepada masyarakat jawa khususnya Majapahit.
Di dalam serat Kandha, ada disebutkan keberadaan empat tokoh suci umat Islam di jaman kuno, yaitu Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Dhomas, Dada Pethak di Gunung Bromo dan Maulana Ishak di Blambangan. Sementara menurut cerita tutur dikalangan pengikut Syaikh Siti Jenar, Syekh Jumadil Kubro adalah teman baik Syekh Siti Jenar saat membawa tawar tanah-tanah angker bekas pemujaan aliran Yoga-tantra yang terkenal dengan kesaktiannya.
Dari beberapa serat tersebut membuktikan peran besar Syekh Jumadil Kubro dalam menyumbangkan Islamisasi ditanah jawa. Bahkan bisa jadi pula Syekh Jumadil Kubro-lah peletak dasar dakwah kultural yang menyentuh ke kalangan grass root. Agus Sunyoto misalnya menyebut bagaimana kelihaian ulama dahulu yang mampu melakukan strategi dakwah yang begitu canggih. Istilah-istilah agama setempat yang masih menganut agama kapitayan, tidak dibuang begitu saja. Tetapi tetap dipakai untuk menyamakan dengan istilah ajaran Islam. Misalnya dalam melakukan pemujaan kepada Allah tidak menyebutkan sholat tetapi memakai istilah sembahyang. Begitupun dengan istilah tempat pemujaan. Orang jawa menamakan tempat pemujaan kepada dewa disebut sanggar. Namun oleh ulama diganti menjadi langgar. Istilah surga dikenalkan kepada masyarakat menggantikan istilah jannah. Istilah nar digantikan dengan istilah neraka. Dan lain sebagainya. Sehingga, masyarakat awam dapat begitu mudah menerima ajaran Islam yang tidak jauh berbeda dengan istilah-istilah agama yang lama mereka yakini.
Menyelami makna dakwah kekinian   
Adalah aneh jika sebagian umat Islam melakukan dakwah dengan memberantas bentuk-bentuk tradisi yang telah mengakar kuat ditengah masyarakat. Mereka mengklaim bahwa tradisi-tradisi yang dijalankan oleh masyarakat sebagai bentuk ajaran bid’ah. Usaha mengawinkan tradisi dengan ajaran Islam pun dianggap sesat. Akhirnya ada gap antara Islam sendiri dengan masyarakat setempat sebagai obyek dakwah mereka. Islamisasi pun tidak berhasil gemilang sebagaimana ulama-ulama terdahulu.
Mungkin mereka lupa dengan sejarah. Pendekatan fiqh dalam memandang hitam-putih suatu masalah akan selalu menimbulkan konflik. Masih terngiang bagaimana perang padri yang mengorbankan banyak nyawa. Lantaran ulama putih memaksakan nilai yang mereka yakini kepada masyarakat setempat.
Berbeda dengan dakwah ala Syekh Jumadil Kubro atau da’i-da’i dalam barisan wali songo. Mendakwahkan Islam dengan melihat local genius masyarakat setempat. Islamisasi pelan tapi pasti mengakar, dan masuk ke dalam jantung ranah sanubari masyarakat. Masyarakat ditanamkan akan ketahuidan yang mendalam dengan laku untuk memperoleh kebenaran. Memperoleh kejayaan sejati. Dan memperoleh hakekat kemana kehidupan itu sendiri. 
Dari sini sangatlah urgen untuk menghadirkan semangat dakwah Syekh Jumadil Kubro dalam ranah Islamisasi kembali masyarakat Muslim saat ini dengan menggunakan pendekatan kultual. Karena pendekatan kultural telah teruji ampuh didalam mengemban pesan suci menghantarkan masyarakat untuk mengagumi Islam, memulyakan Allah dan melaksanakan apa saja yang diperitanhakan Yang Maha Tunggal.





SEJARAH SEMBILAN WALI / WALISONGO

-->


“Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

Maulana Malik Ibrahim (1)

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n

Sunan Ampel (2)

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n

Sunan Giri (3)

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n

Sunan Bonang (4)

Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila Puteri seorang adipati di Tuban. Lahir diperkirakan 1465 M

Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.

Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.

Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan Surabaya.

Bijak Dalam BerdakwahDalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.

Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu. Beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Karya SastraBeliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk. Sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.

Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.

Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali

Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam

Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
 
Brahmana dari India
Agama Islam yang menyebar luas di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat dari belahan dunia lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa penasaran. Maka bersama beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan berdebat dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.

“Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal layar. “Jika dia kalah maka akan kutebas batang lehernya. Jika dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.

Murid-muridnya, yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah berkumpul jadi satu, menghantam air laut, sehingga menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu dua kali hal itu dapat dilakukannya namun terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.

Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah. Ia harus belajar bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah ditelan air laut.

Tapi niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia menoleh kesana kemari. Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan. Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu.

Saat hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
“Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu dengannya?” kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”, tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan”, kata sang Brahmana. “Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan”.

Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas tongkat itu menancap, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.

“Itukah kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi sudah kehausan langsung aja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabok karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.

“Segar! Aduh segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang lain segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Brahmana Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya makin menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu dalam menciptakan lubang air memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!.

Seribu Brahmana di India tak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana. Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” tanya sang Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.

“Bangunlah untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang adanya.

“Ampun! Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan Bonang. “Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya. Ilmu Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.

“Kau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai”, ujar Sunan Bonang. “Hanya Allah yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA, dari segala macam bahaya dan niat jahat seseorang!”
Sang Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin membunuh Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan kesaktian.

Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa memusuhi para waliNYA, maka Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag Sunan Bonang sama saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu sendiri.

Ia bergidik ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing diterjang ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran supaya mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jika niatnya dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah yang bakal binasa.

“Kanjeng Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid…”, kata Brahmana itu kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau harus mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi. Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk agama lama atau menerima Islam sebagai agamamu terakhir”.

Sekali lagi sang Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah berada di atas angin. Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut dia akan bersujud dan menyembah sepasang kakinya.

“Bawa semua kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata Sunan Bonang sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan murid-muridnya segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer lalu mengikuti langkah Sunan Bonang.

Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.

Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.

Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.

Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.

Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat.

Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.

Sunan Kalijaga (5)

Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n

Sunan Gunung Jati (6)

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n

Sunan Drajat (7)

Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun

Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.

Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n

Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n

Sunan Muria (9)

Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Jumat, 23 Maret 2012

AROGANSI KESUKSESAN

Seorang CEO dari perusahaan Fortune 100 mengatakan, “Success can lead to arrogance. When we are arrogant, we quit listening. When we quit listening, we stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fail.” ( Sukses bisa membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan. Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yang terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti berubah, maka kita akan gagal ).

Itulah sisi negatif dari kesuksesan, yakni arogansi. Arogansi muncul saat seseorang merasa diri paling hebat, paling luar biasa, dan paling baik dibandingkan dengan yang lainnya bahkan Tuhanpun ditentang. Penyakit mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa saja, mulai dari organisasi, produk, pemimpin, keluarga, dan orang biasa.

Orang sukses lalu bersombong ria sebenarnya patut disayangkan. Bayangkan saja, saat berjuang keras menggapai kesuksesan, mereka begitu terbuka untuk belajar. Mereka mau mendengarkan. Mereka mau berjerih payah, berani hidup susah, dan mengorbankan diri. Bahkan, mereka tampak sangat ‘merakyat’ hidupnya. Akan tetapi, itu dulu.

Sayang sekali, saat kesuksesan datang, mereka lupa diri. Mungkin dia akan berkata, “Saya sudah berhasil mencapai yang terbaik. Sekarang, Andalah yang harus mendengarkan saya. Saya tidak perlu lagi mendengarkan Anda.” Hal itu diperparah lagi ketika mereka dikelilingi oleh para ‘yes man’ yang tidak berani angkat bicara soal kekurangan orang ini. Hal ini membuat orang itu semakin ‘megalomania’ , pongah, angkuh, dan egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah belajar lagi.

Ada Seorang Pebisnis, dia menceritakan susah payahnya membangun bisnisnya. Cerita yang mengharukan sekaligus heroik ketika dia harus tidur di kolong jembatan saat tiba di Jakarta ketika remaja. Dengan susah payah dia merangkak dari bawah untuk bertahan hidup. Menikah tanpa uang sepeser pun. Hidup di rumah kontrakan kecil. Akan tetapi, dia tidak patah arang. Dia mengamati cara kerja orang sukses, mencontoh, dan memodifikasi sendiri produknya. Sekarang, dia pun berjaya. Tiga pabrik besar ada di genggamannya.

Namun, sayang sekali. Perusahan itu sedang diterpa badai masalah internal. Pemicunya tak lain adalah sikap pemimpin yang arogan. Dia otoriter dan antikritik. “Kalau saya bisa, kalian juga harus bisa,” katanya pongah. Dia pun menolak ide-ide baru. Dia mengelola perusahaan dengan serampangan. Turn over karyawan pun tinggi. Sisanya hanya kelompok para ‘penjilat’ yang tidak berani melawan. Dia menginginkan anak buahnya di-training. Padahal, dia sendiri yang perlu up date diri dengan training.

Arogansi bisa menghampiri siapa saja. Termasuk seorang pendidik, guru, dosen, Ayah, Ibu yang tiap hari memberi sesuatu bagi orang lain.

Dari situ, kita belajar banyak untuk hati-hati. Kesuksesan jangan membuat kita arogan dan cenderung self centered serta tidak mau mendengarkan orang lain. Dunia begitu mengenal sosok Mao, Hitler, ataupun Stalin. Mereka berjuang dari basis bawah menuju pucuk kepemimpinan. Mereka pun berjuang untuk perubahan di masyarakatnya. Idealisme mereka sangat luar biasa. Orang pun dibuatnya kagum. Namun, mereka lupa daratan ketika sukses. Mereka memonopoli kebenaran tunggal alias antikritik dan antipembaruan. Mereka memimpin dengan tangan besi. Korban pun bergelimpangan dari tangannya. Begitu juga dalam sejarah bisnis. IBM yang begitu besar dan terkenal pernah mengalami kemerosotan saat arogansi membekap sikap dan pikiran para pemimpin mereka.

TERJEBAK RETORIKA
Namun, itulah yang terjadi apabila orang berhenti belajar dan merasa diri sudah selesai. Tanpa dia sadari, lingkungannya terus belajar, berinovasi, dan berkembang. Sementara, dia mandek di posisinya. Akibatnya, kue kesuksesan yang dia peroleh lama-kelamaan menjadi basi. Tanpa sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan dirinya di belakang. Mereka terjebak dalam retorika, kalimat, jurus yang itu-itu saja alias usang. Arogansi telah menutup hati dan pikirannya untuk kreatif menemukan jurus dan tip-tip baru mempertahankan sekaligus mengembangkan kesuksesannya. Di sinilah, arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.

JADI BAGAIMANAKAH AGAR KESUKSESAN KITA TIDAK BERUBAH MENJADI AROGANSI

PERTAMA- Aware (sadar) dengan sikap dan tingkah laku kita selalu. Meskipun sudah sukses, kita perlu memberi waktu untuk menyadari sikap dan perilaku kita di mata orang lain. Selalulah sadar apakah nada dan ucapan serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat banyak orang lain terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain? Apalagi orang-orang yang telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang, apakah Anda hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah, kita begitu respek, tetapi setelah sukses justru mencampakkan mereka.

Seseorang dikatakan berhasil bukan sekedar ia sukses akan tetapi ketika orang lain mengatakan ia berhasil dan turut merasakan keberhasilan yang pernah diraihnya. Jadi keberhasilan dikatakan sempurna jika lingkungan sekitar mengatakan ia berhasil dengan cara yang benar dan mereka merasakan berkahnya. Namun sering kali kita lupa untuk intropeksi diri, yang membuat diri ini tumbuh dalam kekurangan rasa emosional dan spiritual.

KEDUA- Waspadai umpan balik yang hanya menghibur kita tetapi tidak membuat kita belajar lagi. Hati-hati dengan orang di sekeliling kita yang hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani memberikan masukan yang baik. Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi perkembangan, sesukses apa pun kita. Pada dasarnya, setiap orang senang dipuji. Bahkan mereka rela mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk dipuji.  Namun pujian yang berlebihan justru dapat membuat seseorang semakin jatuh dalam kesombangannya dan ketidakmampuan dirinya melihat kenyataan dalam hidupnya

KETIGA- Awasi dan peka dengan perubahan yang terjadi. Dalam buku Who Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita harus selalu mencium keju kita, apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang lain. Kita pun harus terus mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan dirinya serta bisa jadi ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri paling hebat dan lupa belajar.

KEEMPAT- Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain.
Sahabat, bentuk arogansi dan keangkuhan adalah symbol dari Iblis dan Fir’aun yang setelah mencapai puncak kesuksesan dan kekuasaan, dia kemudian mengangkat dirinya sederajat dengan Tuhan, dan apakah kesudahannya ? BINASA DI DUNIA, NERAKA DI AKHIRAT !

Kamis, 22 Maret 2012

AIR SUSU IBU ( ASI ) YANG DIBERIKAN PADA BAYI TERBUKTI LEBIH SEHAT

Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan bayi yang diberi ASI terlihat berbeda dari susu formula bayi. Kesehatan mereka di masa mendatang juga akan lebih baik.

Minum susu benar-benar bisa menurunkan hormon pertumbuhan IGF-I dan insulin dalam darah. Tidak hanya saat bayi diberi makan dengan ASI, tetapi juga saat bayi diberikan makanan tambahan. Meskipun secara kasat mata, bayi akan terlihat lebih tipis dari susu bayi dengan susu formula.

Sedangkan susu formula bayi akan terlihat gemuk formula yang lebih makan karena memicu produksi sel-sel lemak yang dapat membuat berat bayi menjadi lebih cepat.

Survei yang dilakukan pada 330 bayi usia 10, 18, dan 36 bulan oleh LIFE Fakultas Sains, Universitas Kopenhagen, Denmark, menunjukkan bahwa bayi berusia 18 bulan yang menjalani program yang lagi menyusui memiliki berat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan bayi susu formula seperti dikutip Daily Mail.

"Kita bisa melihat bahwa menyusui memiliki tanda signifikan dalam hormon pertumbuhan IGF-I dan insulin Semakin lama bayi disusui, hormon kurang.. Artinya, bayi yang disusui dapat dilindungi dari obesitas dan diabetes ketika ia dewasa," kata Anja Lykke Madsen, seorang anggota peneliti.

Fakta lain yang terungkap menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi dari perut kembung, infeksi pernapasan, asma, eksim, dan alergi. Selain itu, ASI juga menekan terjadinya menopause dini, kanker leher rahim, dan osteoporosis ketika mereka telah menjadi ibu.

Sisi positif dari menyusui bagi ibu baru melahirkan, dia akan cepat kembali singset karena menyusui akan membakar 500 kalori per hari. Departemen Kesehatan bahkan menyarankan untuk melakukan ASI eksklusif selama 6 bulan.

Di Eropa, Inggris, termasuk negara-negara dengan jumlah ibu menyusui yang terendah. Hanya 1 dari 3 wanita yang melakukannya. Bahkan saat bayi berusia 4 bulan, mereka segera mengganti ASI dengan susu formula. Berkomunikasi dengan di Swedia, 98 persen ibu menyusui bayinya.

Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa susu formula yang diberikan terlalu dini, yaitu pada bayi kurang 6 bulan, dapat menyebabkan perkembangan yang terlalu cepat pada bayi.

Prof Kim Fleischer Michaelsen of Copenhagen University mengatakan, "Jika dibandingkan dengan susu formula, ASI bayi berat badan tidak terlalu ditembak. Dan di masa depan, bayi ASI akan mengalami penyakit gaya hidup kecil".

"DAN IBU - IBU HENDAKLAH MENYUSUI ANAK - ANAKMU SELAMA DUA TAHUN    PENUH ( AL BAQARAH 2 : 233 )

IKATAN EMOSIONAL ANTARA IBU DAN BALITA DAPAT MEMPENGARUHI OBESITAS

Ingin memiliki remaja sehat? Bangunlah interaksi yang dekat atau hubungan dengan bayi pada usia dini. Sebuah studi disebut, ketika remaja mengalami obesitas cenderung memiliki hubungan emosional yang buruk dengan ibunya pada usia lima.

Temuan ini menegaskan penelitian sebelumnya bahwa balita yang tidak memiliki ikatan emosional dengan ibu akan mulai menggemukkan pada usia 4,5 tahun.

Dalam penelitian terbaru yang dikutip dari Berita Hari Kesehatan, sejumlah ilmuwan meneliti data kesehatan nasional lembaga kesehatan anak dari ratusan keluarga di sembilan negara yang lahir pada tahun 1991.

Hasil analisis peneliti Ohio University menunjukkan bahwa mereka dengan ikatan emosional terendah dengan ibu pada usia balita memiliki risiko tertinggi obesitas saat menginjak 15 tahun.

Lebih dari seperempat balita yang memiliki hubungan berkualitas buruk dengan ibu mereka sebagai obesitas remaja berkembang, dibandingkan dengan 13 persen anak-anak yang memiliki ikatan yang kuat dengan ibu dalam tahun-tahun awal pertumbuhan mereka.

Penelitian yang diterbitkan dalam edisi Januari jurnal Pediatrics menunjukkan bahwa risiko terkena obesitas area otak yang mengontrol emosi dan merespon stres. "Pada saat yang sama, daerah otak yang sama bekerja sama untuk mengontrol nafsu makan dan menjaga keseimbangan energi," kata para peneliti.

Penulis menyarankan obesitas upaya pencegahan harus mencakup strategi meningkatkan ikatan antara ibu dan anak, selain mempromosikan makan sehat dan olahraga.
"Ada kemungkinan intervensi dengan obesitas dapat meningkatkan ikatan emosional antara ibu dan anak daripada berfokus hanya pada asupan makanan dan aktivitas fisik," kata Sarah Anderson, asisten profesor epidemiologi di Universitas Ohio, penulis utama.

Dia menambahkan, "Sensitivitas ibu dalam interaksi dengan faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua anak-anak mereka tidak dapat selalu mengontrol anak. Kita harus berpikir meningkatkan kualitas hubungan ibu dan anak yang berdampak pada kesehatan anak-anak," kata Anderson.